Selasa, 07 September 2010

Eksistensi Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus di Era Legalitas Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-undang republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan nasional bab I pasal 1 berbunyi “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Adapun dalam bab II pasal 3 menerangkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Undang-undang diatas menerangkan tentang pengertian atau arti pendidikan yang ada di Negara Indonesia. pendidikan yang ada di Indonesia ini memiliki tujuan yang jelas dan terarah seperti yang tertera pada undang-undang republik indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bab II pasal 3.
Usaha yang dilakukan untuk mencerdaskan bangsa melalui proses pendidikan, sudah tentu memerlukan suatu proses pendidikan baik dengan cara formal maupun non formal. Perbedaan cara tersebut tidak dipermasalahkan selama masih sesuai dengan tujuan pendidikan. Konsekuensi proses formal dan non formal tersebut juga sudah diatur dalam peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
Dalam pelaksanaan pendidikan terutama pendidikan Islam, ada banyak cara didalamnya. Lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia dikenal dengan sebutan Madrasah Diniyah. Madrasah Diniyah ini ada yang bersifat formal dan non formal.
Peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 55 tahun 2007 Tentang Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, pasal 15 mengatur tentang Madrasah Diniyah formal berbunyi “Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.” PP ini dalam pasal 21 ayat 1 berbunyi “Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis.” Dipertgeas lagi dalam pasal 25 ayat 1 fokus adanya madrasah diniyah taklimiyah dituliskan “Diniyah takmiliyah bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT.”
PP diatas mengatur tentang lembaga pendidikan keagamaan yang dan pasal-pasal dalam PP diatas mengatur tentang lembaga pendidikan Islam yang berupa Madrasah Diniyah dimana Madrasah Diniyah tersebut mengajarkan tentang aqidah dan norma-norma Islam dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Realita dalam konteks, disamping Madrasah Diniyah berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang berdiri sendiri, juga dapat berfungsi sebagai metode da’wah. Berbicara tentang pendidikan dalam kedudukannya sebagai pengetahuan yang berdiri sendiri, biasanya tidak dimasukkan dalam kategori publistik atau propaganada. Ia mempunyai kedudukan sendiri dan lain dari publistik dan propaganada. Akan tetapi dapat dipandang sebagi metode da’wah jangka panjang. Kita maklum bahwa da’wah meliputi segala tindakan untuk meluruskan fikiran dan tindak tanduk manusia menurut ajaran Islam. Dan oleh Karena pendidikan memegang peranan yang sangat penting didalam proses perkembangan individu, maka da’wah dapat menggunakan proses pendidikan ini sebagai medianya. Malahan pendidikan (tarbiyah) merupakan gelanggang da’wah jangka panjang yang paling efektif.
Di kota Kudus ada lembaga pendidikan Islam berupa Madrasa Diniyah yang masih eksis dan bertahan di era legalitas pendidikan. Kebanyakan besar masyarakat mengenyam pendidikan disamping untuk memperoleh ilmu pengetahuan juga bertujuan memperoleh ijazah dari suatu lembaga pendidikan yang dimasuki. Kata lian yang lebih kasar masuk dalam sekolah untuk memperoleh ijazah dari sekolah yang populer, semakin populer ijazah tersebut semakin banyak peluang kerja yang akan diraihnya. Itu jika dilihat dari segi material.
Adanya madrasah yang bergeser dari pusat mengajaran dan penerapan pendidikan Islam yang menganut perundang-undangan yang berlaku, mengakibatkan muatan pendidikan agama Islam yang ada menjadi berkurang. Malik Fajar menuliskan “sebagai realisasi PP No. 28/1990. Menteri pendidikan dan kebudayaan mengeluarkan surat keputusan No. 0489/U/1992 dan No. 054/U/1993 yang diantara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD/SLTP.”
Pada tahun 1991 kurikulum diniyah dikembangkan sesuai dengan perkembangan dan kenyataan yang ada di lapangan. Untuk itu, madrasah diniyah dikelompokkan ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) Tipe A berfungsi membantu dan menyempurnakan pencapaian tema sentral pendidikan agama pada sekolah umum terutama dalam hal praktik dan latihan ibadah serta membaca Al-Qur’an; (b) Tipe B berfungsi meningkatkan pengetahuan Agama Islam sehingga setara dengan madrasah. Madrasah ini lebih berorientasi pada kurikulum Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah; (c) Tipe C berfungsi untuk pendalaman agama dengan system pondok pesantren.
Dari pengelompokan macam tipe kurikulum madrasah diniyah diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kurikulum yang dilaksanakan di madrasah diniyah pada intinya untuk pendalaman tentang agama Islam baik segi normative maupun praktis. Pembentukan potensi anak didik di madrasah diniyah agar nantinya dapat menjawab segala permasahan ataupun segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakat seputar tentang kajian Agama Islam. Proses pendidikan yang ada di madrasah diniyah bertujuan mencetak out put yang berkompeten dalam bidang Agama Islam dan dapat menjadi panutan dalam lingkungannya.
Hal ini terbukti dari sejarah pendidikan yang ada di kabupaten Kudus yang asal mulanya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang berupa madrasah salaf berubah menjadi madrasah salaf modern. Kata Madrasah yang berbasis salaf dahulunya merupakan madrasah mengajarkan pendidikan norma Islam yang didalamnya banyak terkandung mata pelajaran agama Islam seperti kitab kuningya yang kandungannya lebih dari 70% dan out putnya diakui oleh masyarakat karena out putnya mampu mengulas kandungan kitab kuning. Sekarang telah mengikuti akreditasi demi mengikuti populer tren pendidikan, ketika madrasah sudah mengikuti akreditasi dan mendapat nilai yang bagus, maka harus mengikuti peraturan yang berlaku pada masa saat ini. Akhirnya pada kenyataanya, madrasah diniyah formal yang sudah terakreditasi menjadi ikut modern, ironisnya lagi kandungan kajian kitabnya banyak yang berkurang menjad sekitar 30%, lebih parahnya lagi out putnya jarang yang dapat mengulas tentang kitab-kitab kuning yang dahulunya menjadi pokok kurikulumnya. Secara kuantitas, memang sekolah tersebut menjadi sekolah favorit, namun secara kualitas keIslaman, menjadi merosot.
Madrasah diniyah yang masih eksis ditengah kota Kudus dan ditengah era legalitas pendidikan ini adalah Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus. Meskipun banyak madrasah diniyah bergeser mengiuti alur peraturan pemerintah, madrasah ini tetap bertahan dengan nuansa salafnya demi mempertahankan kualitas out putnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Antiknya lagi murid yang ada di madrasah tersebut tidak disebut sebagai siswa, melainkan santri, menganut pada istilah pesantren, dan staf pengajarnya tidak dipanggil sebagai guru akan tetapai sebagai kiai karena setiap mata pelajaran yang diajarkan di madrasah ini berupa kitab kuning yang berisi norma-norma agama Islam yang masih murni bernuansa Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Terasa aneh ketika kita menginjakkan kaki di madrasah ini, karena didalamnya tidak seperti madrasah formal pada umumnya. Akan tetapi jika kita melihat kandungan mata pelajarannya lebih dahsyat dari pada mata pelajaran di perguruan tinggi sekalipun. Belum tentu sarjana S1 dari perguruan Islam di Indonesia ini mampu membaca dan mengulas kitab kuning, namun santri dari Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus ini sudah mampu dan mahir untuk membaca dan mengulas kitab-kiab Islam berupa kitab kuning. Lebih hebatnya ketika masyarakat konsultasi seputar norma-norma Islam bukan ke sarjana S1, melainkan lebih mantap jika bertanya kepada santri Madin NU Kradenan Kudus.
Dari prolog diatas, peneliti sudah mengamati dan mengambil judul “EKSISTENSI MADRASAH DINIYAH NAHDLATUL ULAMA’ (NU) KRADENAN KUDUS DI ERA LEGALITAS PENDIDIKAN STUDI ANALISIS TENTANG OUT PUT MADRASAH DINIYAH NU KRADENAN KUDUS”.



B. Penegasan Istilah
Penegasan istilah dari judul “Eksistensi Madrasah Diniyah Nahdlatul Ulama’ (Nu) Kradenan Kudus Di Era Legalitas Pendidikan (Studi Analisis Tentang Out Put Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus)” ingin menggaris bawahi dan peneliti ingin mengulas tentang hal-hal sebagai berikut:
1. peneliti ingin mengungkap tentang pengertian eksistensi. Eksistensi yang ingin digali peneliti, peneliti ingin mengungkap bagaimana Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus masih dapat bertahan dalam segala aspek. Bertahan dalam segi kualitas, segi image yang ada di masyarakat, segi salaf, segi kekhasanya dan lain-lain sehingga masih bertahan di era sekarang dan masih tetap diterima dalam masyarakat. Bertahannya Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus ini merupakan suatu hal yang istemewa yang ada dala pendidikan. Keunggulan dalam mempertahankan pendidikan Islam sesuai dengan pendapat Abdul Rahman Al-Baghdadi di bukunya yang berjudul Sisitam Pendidikan di Masa Kholifag, bunyinya: “Islam yang suci memiliki tujuan untuk menghindarkan akal manusia dari jurang kesesatan dan penyelewengan yang tidak jelas. Islam telah memasang berbagai kendali yang amat kokoh, serta memerintahkan setiap Muslim agar mempelajari dan mengjarkannya sebagai pengikat yang kuat. Islam menyerahkan segala aturan dan pemikiran mengenai urusan rakyat banyak kepada yang berwenang (penguasa/khlifah), yang bertanggung jawab atas segala urusan rakyat, termasuk dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Kholifah berwenang menegakkan segala hal mengenai ide dan oemikiran yang berkaitan dengan kurikulum dan metode pendidikan, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, dengan menjadikan aqidah Islam sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan seorang Muslim, termasuk dalam tata cara berfikir, berkehendak, sehingga dalam tindakannya terlebih dahulu diukurnya dengan aqidah Islam sebagai dasarnya.
2. Madrasah adalah tempat pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran yang berada dibawah naungan Departemen Agama. Yang termasuk kedalam kategori madrasah ini adalah lembaga pendidikan: Ibtida’iyah, Tsanawiyah, Aliyah, Mu’allimin, Mu’allimat, serta Diniyah. Madrasah tidak lain adalah kata arab dari sekolah, artinya tempat belajar. Istilah madrasah di tanah Arab ditujukan untuk sekolah secara umum, namun di Indonesia ditujukan untuk sekolah-sekolah Islam yang mata pelajaran dasarnya adalah mata pelajaran agama Islam.
3. Sedangkan madrasah diniyah adalah suatu bentuk madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama (diniyah). Madrash ini dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan agama yang disediakan bagi siswa yang belajar disekolah umum.
Dalam kaitannya dengan satuan pendidikan lain, khususnya sekolah umum dan madrasah, madrasah diniyah dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu: (a) Madrasah diniyah wajib, yaitu madrasah diniyah yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sekolah umum atau madrasah. Siswa sekolah umum atau madrasah yang bersangkutan wajib menjadi siswa madrasah diniyah. Madrasah diniyah ini juga disebut juga sebagai madrasah diniyah komplemen, karena sifatnya komplementatif terhadap sekolah umum atau madrasah; (b) Madrasah diniyah pelengkap, yaitu madrasah diniyah yang diikuti oleh siswa sekolah umum atau madrasah sebagai upaya menambah atau melengkapi pengetahuan agama dan bahasa Arab yang sudah mereka peroleh disekolah umum atau madrasah. Berneda dengan madrasah diniyah wajib, madrasah diniyah pelengkap ini tidak menjadi bagian dari sekolah umum atau madrasah, tatapi berdiri sendiri. Madrasah diniyah ini disebut juga madrasah diniyah suplemen karena sifatnya suplementatif terhadap sekolah umum atau madrasah; (c) Madrasah diniyah murni, yaitu madrasah diniyah yang siswanya hanya menempuh madrasah diniyah tersebut, tidak merangkap disekolah umum maupun madrasah. Madrasah diniyah ini dinamakan madrasah diniyah independen, karena bebas dari siswa yang merangkap disekolah umum atau madrasah.
4. Masalah legalitas pendidikan secara khusus disini adalah ijazah yang dikeluarkan suatu instansi pendidikan. Ijazah adalah sertipikat tanda lulus; surat tanda tama belajar. Fungsi madrasah dahulunya adalah sebagi lembaga pendidikan agama Islam, membahas tentang aqidah dan norma-norma agama Islam. Namun situasi zaman telah menggeser fungsi madrasah, khususnya madrasah Diniyah seperti sekarang ini. Abdurrahman Mas’ud Dkk dalam buku Dinamika Pesantren dan Madrasah menuliskan “pendidikan di madrasah mulai berimplikasi pada kebutuhan hidup murid dan status social mereka di masa mendatang. Ijazah formal madrasah, ijazah hasil ujian persamaan negeri menjadi amat penting dan berpengaruh mengubah pandangan kearah dunawi. Nilai belajar lil wajhillah mulai pudar atau hilang sama sekali, digeser oleh niat lil ijazah. Pandangan Priyayiisme yang dahulu ditentang oleh madrasah sekarang malah justru ditolelir. Penilaian prestasi madrasah diukur secara kuantitatif dengan banyak sedikitnya siswa yang lulus ujian Negara. Komponen pendidikan agama menjadi suatu yang rutin saja. rasa ketergantungan kepada pihak lain mulai menggeser watak kemandiriannya.”
Dari penegasan istilah yang digunakan penliti ini agar tidak terjadi kesan abstrak dalam sebuah penelitian dan penelitiannya dapat terarah dan terfokus dengan tepat dan jelas.

C. Fokus Penelitian
Untuk mendapat jawaban dari permasalahan yang akan di teliti, peneliti memfokuskan penelitiannya pada:
1. Bertahannya Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus di era legalitas pendidikan seperti sekarang ini.
2. Profil Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus dengan khasnya mempertahankan Salafnya.
3. Mengungkap fungsi ijazah Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus bagi para santri-santrinya.
4. Mendeskripsikan peran mutakhorrijin Madrasah Diniyah NU Kradenan pada masyarakat.

D. Rumusan Masalah
Berangkat dari pendahuluan dan fokus masalah yang diambil peneliti, maka akan timbul permasalahan-permasalahan yang harus dijawab. Adapun permasalahn itu antara lain:
1. Apa penyebab Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus masih bertahan atau eksis di era maraknya legalitas pendidikan seperti sekarang ini?
2. Apakah faktor yang menyebabkan Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus dengan khasnya mempertahankan Salafnya?
3. Apa fungsi ijazah Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus bagi para santri-santrinya?
4. Bagaimana peran mutakhorrijin Madrasah Diniyah NU Kradenen Kudus terhadap masyarakat?

E. Tujuan Penelitian
Peneliti melakukan penelitian ini bukan tanpa tujuan yang kelas, namun ada tujuan yang hendak digapai penelti. Adapun tujuan penelitian ini dilakukan antara lain sebagai berikut:
1. Mengungkap eksistensi Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus di era legalitas pendidikan seperti sekarang ini.
2. Menjelaskan profil Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus dengan khasnya mempertahankan Salafnya.
3. Menjelaskan fungsi ijazah Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus bagi para santri-santrinya.
4. Menuturkan peran mutakhorrijin Madrasah Diniyah NU Kradenen Kudus bagi masyarakat.

F. Manfaat Penelitian
Setelah diketahui tujuan dari penelitian diatas maka hasil penelitian ini bermanfaat sebagai:
1. Sumbangsih keilmuan dalam bentuk akademis, sistematis dan akurat.
2. Salah satu sumbangan keilmuan dalam bentuk informasi kepada seluruh masyarakat khususnya kepada kaum santri.
3. Informasi tentang keistimewaan madrasah yang dipegang dan diurus dan dikelola oleh para alim ulama’ dari Kudus dan sekitarnya tersebut.
4. Menambah pengetahuan penulis terhadap adanya lembaga pendidikan yang khas dan antik.
5. Menjawab kegelisahan masyarakat tentang kekhawatiran menyekolahkan anak-anaknya di madrasah, khususunya madrasah diniyah.
6. Infomasi kepada generasi muda yang kekurangan dana dalam memilih lembaga pendidikan yang berkualitas dan tidak memandang materi.

G. Sistematika Penulisan Skripsi
Sistematika yang dimaksudkan disini adalah penemapatan unsur-unsur permasalahan dan urutannya dalam penulisan skripsi nantinya, sehingga akan memebentuk satu karangan ilmiah yang tersusun rapid an logis.
Sistematika ini digunakan sebagai gambaran yang akan menjadi pembahasan dan penelitian, sehingga dapat memudahkan, maka dapat disusun sistematika sebagai berikut:

1. Bagian muka
Bagian ini memuat: halaman judul, halaman persetujuan pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar, halaman daftar isi.

2. Bagian isi terdiri atas:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini memuat tentang latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II : Pembahasan dari permaslahan yang diangkat peneliti.
Bab ini mengulas tentang tema judul yang telah diambil peneliti yaitu seputar Eksistensi Madrasah Diniyah Kradenan NU Kudus di Era Legalitas Pendidikan.
Bab III : Metodologi Penelitian
Bab ini mengulas tentang metodologi penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yang melipti: Jenis dan Pendekatan Penelitian, Subyek Penelitian, Tekhnik Pengumpulan Data, Tekhnik Analisis Data, dan Penguji Keabsahan Data.
Bab IV : Deskripsi Data dan Analisis Data
Bab ini merupakan laporan data empirik yang diperoleh meliputi: tinjauan umum, meliputi sejarah perkembangan, letak geografis, visi dan misi, keadaan guru dan siswa, keadaan sarana prasarananya, serta struktur organisasi, gambaran kegiatan belajar mengajar di madrasah diniyah NU Kradenan Kudus. gambaran tentang peran alumni dalam masyarakat; Analisa tentang penyebab Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus masih bertahan atau eksis di era maraknya legalitas pendidikan seperti sekarang ini; Analisa tentang faktor yang menyebabkan Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus dengan khasnya mempertahankan Salafnya; Analisa tentang fungsi ijazah Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus bagi para santri-santrinya; Analisa tentang peran mutakhorrijin Madrasah Diniyah NU Kradenen Kudus terhadap masyarakat.
Bab V : Penutup
Meliputi : Simpulan, saran-saran dan penutup

3. Bagian akhir
Memuat daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar riwayat pendidikan.
Demikian sistematika penulisan skripsi yang penulis ajukan dengan harapan dapat terhindar dari kemungkinan terjadinya kesalahan atau kekelruan dalam penyusunan sub bab yang tertera dalam skripsi ini.






BAB II
LANDASAN TEORI

A. EKSISTENSI MADRASAH DINIYAH
1. Pengertian Eksistensi, Tujuan dan Fungsi Madrasah Diniyah
Perkataan madrasah berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat belajar. Padanan kata madrasah dalam bahasa indonesia adalah sekolah, lebih di khususkan lagi sekolah-sekolah agama islam.dalam shorter enciclophedia of islam, madrasah diartikan: name of institution where the islamic science are studied.
Perkataan madrasah di tanah Arab ditujuakan untuk sekolah secara umum, tetapi di indonesia ditujukan buat sekolah-sekolah yang mata pelajaran dasarnya adalah mata pelajaran agama Islam.
Di dunia pesantren terkenal dengan adanya unsur-unsur pokok dari suatu pesantren, yaitu kyai, santri, pondok, masjid dan pengajaran mata pelajaran agama islam. Pada sistem madrasah tidak harus ada pondok, masjid dan pengajian kitab-kitab klasik. Unsur-unsur yang diutamakan madrasah adalah pimpinan, guru, siswa, perangkat keras, perangkat lunak dan pengajaran mata pelajaran agama islam. Abdul Hafiz Dasuki, mengemukakan perbedaan antara madrasah dan pesantren adalah:
It is the madrasa, rather than in the pondok pesantren, that the more modern ideas on education and schooling have generally had the most influence. The madrasa is more like a western – style school than the pondok - pesantren with its dormitory arrangement and traditional, unregulated way of study.
Perbedaan-perbedaan antara madrasah dan pesantren seperti yang dikutip diatas adalah, antara madrasah dan pesantren tradisional, atau dalam pengklasifikasian penulis tergolong penatren pola I. Adapun terhadap pola lain tidak demikian halnya.
Pada dasarnya, potensi yang ada pada madrasah diniyah tidak jauh berbeda dengan potensi pondok pesantren, Karen kedua bentuk satuan pendidikan ini sama-sama lembaga pendidikan yang lahir , tumbuh dan berkembang, ditengah-tengah masyarakat, oleh masyarakat dan dilatarbelkangi oleh kebutuhan masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan murni diselenggarakan oleh swasta, kekuatan madrasah diniyyah adalah kekenyalannya menghadapi permasalahan yang timbul. Meskipun dengan kondisi yang serba kekurangan , madrasah diniyah ini terus berkembang.
Kekuatan lain yang dimilki madrasah diniyah adalah kebebasannya memilih pola, pendekatan, bahkan system pembelajaran yang dipergunakan, tanpa terikat oleh model-model tertentu. Biasanya pola yang dipilih adalah pendekatan yang dianggap paling tepat untuk mencapai tujuan atau keinginan masyarakat dalam menambah ilmu pengetahuan agama dan bahasa Arab. Pendekatan demikian sangat menguntungkan karena sesuai dan lebih dekat dengan budaya dan lingkungan setempat.
Potensi yang juga diharapkan dapat mendukung pengembangan madrasah diniyah dimasa-masa mendatang adalah semakin meningkatnya semangat keberagamaan masyarakat.
Sementara itu, devinisi madrasah diniyah yang dikeluarkan oleh Depag Dirjen Kelembagaan Agama Islam menyatakan bahwa madrasah diniyah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal dalam pengetahuan agama Islam kepada pelajar bersama-sama sedikitnya berjumlah 10 (sepuluh) orang atau lebih, diantara anak-anak yang berusia 7 (tujuh) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.
Adapun pendidikan dan pengajaran pada madrasah diniyah bertujuan untuk memeberi tambahan pengetahuan agama kepada pelajar-pelajar yang merasa kurang menerima pelajaran agama di sekolah-sekolah umum dan madrasah diniyah ada 3 (tiga) tingkatan yakni: Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustho, dan Diniyah ‘Ulya.
2. Kajian Historis Madrasah Diniyah
Dalam pengertian umum, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam telah muncul dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Madrasah telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan perkembangan bangsa sejak masa kesultanan, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah merubah pendidikan dari bentuk awalnya, seperti pengajian di rumah-rumah, langgar, musholla, dan masjid, menjadi lembaga formal sekolah seperti bentuk madrasah yang kita kenal saat ini.
Demikian pula dari segi materi, telah terjadi perkembangan dan penyesuaian dalam penyelenggaraan pendidikan. Kalau sebelumnya hanya belajar mengaji Al-Qur’an dan ibadah praktis, melalui system madrasah, materi pelajaran yang mengalami perluasan seperti tauhid, hadis, tafsir, dan Bahasa Arab. Bahkan, madrasah kemudian mengadopsi pelajaran umum sebagaimana sekolah-sekolah dibawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional.
Dalam pengertian khusus yang seperti inilah sejarah perkembangan madrasah di Indonesia masih menjadi sebuah potret buram. Apakah keberadaannya mempunyai keterkaitan atau hubungan dengan madrasah yang berkembang di Timur Tengah pada abad 11-12 M ataukah madrasah di Indonesia mempunyai latar belakang sejarah berdiri dan ini dikembalikan pada situasi di awal abad ke-20? Jika benar demikian, lantas bagaimanakah proses perkembangan itu terjadi? Berikut akan dipaparkan sekilas tentang perkembangan madrasah di Indonesia sejak awal abad ke-20, Orde Lama, Orde Baru, sampai Era Reformasi seperti sekarng ini.
a. Madrasah di Awal Abad ke-20
Meski belum menemukan kata sepakat, mayoritas peneliti pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya berpandangan bahwa menyerupakan antara madrasah yang berkembang di Timur Tengah pada abad 11-12 M dengan madrasah yang berkembang di Indonsia adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya. Kalau mau dihubungkan , hal itu lebih tepat bila dikaitkan dengan pesantren. Pasalnya, bila diukur dari ketentuan fisik, menurut George Maksidi, ditemukan kesamaan diantara keduanya, yaitu sama-sama terdiri dai masjid, asrama, dan ruang belajar. Adapun kurikulum yang bersifat baku yang mengatur pelaksanaan pendidikan, sebagai prasyarat bagi sebuah madrasah dalam pengertian sekolah, belum ditemukan.
Sejalan dengan itu, agaknya lebih tepat untuk menyimpulkan bahwa madrasah di Indonesia mempunyai latar belakang sejarah sendiri; dan hal itu dimulai pada awal abad ke-20. Jika sejarahnya demikian adanya, bagaimanakah babakan sejarah madrasah di Inonesia dimulai? Sukamto , dosen luar biasa pada Sekolah Tinggi Agama Islam Yayasan Islamic Centre Cirebon, berpendapat bahwa latar belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia didorong oleh dua factor, yaitu menguatnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda.
Berkenaan dengan sebab pertama, Deliar Noer menjelaskan bahwa dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia, kemunculan dan perkembangan madrasah memang tidak bias dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam di Indonesia pada awal abad ke-20. Gerakan ini diawali oleh sejumlah tokoh intelektual agama Islam untuk merubah cara pandang masyarakat Islam Indonesia pada waktu itu dinilai kurang mampu memberikan perhatian pada masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya; dan pembaharuan system pendidikan dinilai sebagai aspek yang strategis dalam membentuk pandangan keislaman masyarakat.
b. Madrasah di Era Orde Lama; Mempertahankan Eksistensi
Perkembangan madrasah pada masa Orde Lama sangat identik dengan peran Departemen Agama yang resmi didirikan pada tanggal 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonsia. Waktu itu, salah satu orientasi Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan diberbagai sekolah, dismping pada perkembangan madrasah itu sendiri. Dalam salah satu dokumen disebutkan bahwa tugas bagian pendidikan di lingkungan Departemen Agama meliputi: pertama, memberikan pengajaran agama di sekolah negeri dan pertikulir (swasta), kedua, memberikan pengetahuan umum di madrasah, dan ketiga, mengadakan Pendidikan Guru Agama (PGA) serta Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).
Dengan adanya tugas-tugas seperti diatas, Departemen Agama dapat dikatakan sebagai representasi umat Islam dalam memperjuangkan penyelenggaraan pendidikan Islam secara lebih meluas di Indonesia. Dalam kaitannya dengan perkembangan madrasah, Departemen tersebut menjadi andalan yang secara politis dapat mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh perhatian yang serius dikalangan pemimpin yang mengambil kebijakan. Disamping melanjutkan usaha-usaha yang dirintis oleh sejumlah tpkoh seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH.Ilyas, Mahmud Yunus dll., Departemen Agama secara lebih tajammengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu pendidikan.
Salah satu gambaran yang cukup menonjol dari perkembangan madrasah pada masa Orde Lama adalah dengan didirikan dan dikembangkannya Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Menurut Mahmud Yunus, keud madrasah ini menandai perkembangan yang sangat signifikan dimana madrasah dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga yang professional dalam bidang keagamaan. Terutama PGA yang nantinya akan menghasilkan guru-guru agama yang secara praktis menjadi motor begi penyelenggara dan pengelolaan pendidikan madrash sehingga bias dikatakan bahwa lembaga tersebut menjamin perkembangan madrasah di Indonesia.
c. Orde Baru; Era Pengembangan Madrasah
Secara umum dapat diakui bahwa pemerintah Orde Baru mengenai pendidikan agama , termasuk madrasah bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua decade terakhir 1980-an – 1990-an. Pemerintah Orde Baru memandang bahwa madrasah harus dikembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan. Kebijakan seperti ini secara lebih kuat tercermin dalam komitmen Orde Baru untuk menyelenggarakan pendidikan agama sebagai bagian yang tak terpisahkan dari system pendidikan nasional.
Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, beberapa kebijakan mengenai madrasah bersifat melanjutkan dan memperkuat kebijakan Orde Lama. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari system pendidikan secara nasional, hanya sebagai lembaga pendidikan otonom dibawah pengawasan menteri agama. Menurut Maksum, hal ini disebabkan kenyataan bahwa system pendidikan madrasah lebih didominasi oleh muatan-muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum standar, memilik struktur yang tidak seragam dan memberlakukan managemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah. Menghadapi kenyataan seperti ini, maka langkah pertama dalam pembaharuan pendidikan madrasah adalah melakukan formalisasi dan strukturisasi madrasah. Formalisasi ditempuh menegerikan sejumlah madrasah dengan criteria tertentu yang diatur oleh pemerintah, disamping mendirikan madrasah nergeri yang baru. Sedangkan strukturisasi dilakukan dengan menagtur penjenjangan dan perumusan kurikulum yang cenderung sama dengan penjenjangan dan kurikulum sekolah-sekolah dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada tahap berikutnya, pemerintah Orde Baru memulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah kedalam system Pendidikan Nasional. Usaha ini agaknya sederhana karena secara konstitusional pendidikan nasional masih diatur oleh UU No.4 Tahun 1950 jo. No 12 Tahun 1954 yang terkesan mengabaikan pendidikan madrasah. Jadi yang bias dilakukan oleh pemerintah pada saat itu adalah memperkuat struktur madrasah baik dalam jenjang maupun kurikulumnya, sehingga lulusannya dapat memperoleh pengakuan yang sama dengan lulusan sekolah lain dan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi disekolah-sekolah yang dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu, pada masa H.A. MuktiAli menjabat sebagai menteri agama dikeluarkanlah kebijakan berupa keputusan bersama 3 menteri (Menag, Mendikbud, dan Mendagri) pada tahun 1974 tentang peningkatan mutu pendidikan dan madrasah.
Akan hal ini, Muhaimin berpendapat bahwa usaha diatas dilakukan dengan memberikan porsi 70% untuk pendidikan umum dan 30% untuk pendidikan agama. Menurutnya, jika dilihat dari isu sentralnya, Mukti Ali rupanya ingin mendobrak pemahaman masyarakat yang bernada sumbang terhadap seksistensi madrasah, dimana ia senantiasa didudukkan dalam posisi marginal karena hanya berkutat pada kajian Islam saja, bahkan terkesan miskon dalam pendidikan umum, sehingga out putnya kurang diperhitungkan oleh masyarakat. Terbukti ruh dari SKB tersebut belum banyak ditangkap dan dipahami oleh para Pembina dan pengelola madrasah itu sendiri. Porsi 70% untuk pengetahuan umum dan 30% untuk pengetahuan agama tidak dipahami secara substansial tetapi simbolik, sehingga lagi-lagi out putnya menjadi mandul, penguasaan pengetahuan umum masih dangkal dan begitu pula halnya dengan pengetahuan agama.
Bertolak dari permasalahan tersebut, ketika menjabat sebagai Menteri Agama, Munawir Sadzali mencoba menawarkan satu konseo Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Madrasah ini bertujuan untuk menjawab problem kelangkaan ulama dan atau kelangkaan umat Islam dalam menguasai kitab-kitab berbahasa Arab serta ilmu-ilmu lainnya. Adapun madrasah non-keagamaan tidak jauh berbeda dengan SMU karena porsi pengetahuan agama lebih sedikit dibanding sebelumnya.
Memasuki decade 1990-an, kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai madrasah ditujukan secara penuh untuk membangun satu system pendidikan nasional yang utuh. Dengan satu system yang utuh, dimaksudkanbahwa pendidikan nasional tidak hanya bergantung pada pendidikan jalur sekolah tetapi juga memanfaatkan jalur diluar sekolah. Dalam hal ini pemerintah Orde Baru melakukan langkah konkret berupa penyusunan Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan sekaligus menggantikan UU No.4 Tahun 1950 jo NO. 12 Tahun 1954. Dalam konteks ini penegasan definisi tentang madrasah diberikan melalui keputusan-keputusan yang lebih oprasional dan dimasukkan dalam kategori pendidikan sekolah tanpa menghilangkan karakter keagamaannya. Melalui upaya ini dapat dikatakan bahwa madrasah berkembang secara terpadu dalam Sistem Pendidikan Nasional.
d. Era Reformasi; Desentralisasi dan Deregulasi Madrasah
Sperti telah dipaparkan diatas pemerintah telah banyak mengeluarkan berbagai kebijakan berkenan dengan peningkatan pendidikan Islam khususnya madrasah. Diantara kebijakan-kebijakan pemerintah adalah dengan dikeluarkannya berbagai macam Undang-Undang yang berkenan dengan peningkatan pendidikan Islam.
Namun demikian, peraturan itu tidak juga serta merta mengubah madrasah tumbuh dan berkembang sperti yang diharapkan. Seperti kita ketahui, madrasah itu sendiri lahir, tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat. Masyarakatlah yang membentuk, membina dan mengembangkannya. Dari segi kuantitas perkembangan madrasah boleh jadi sangat pesat, namun dari segi kualitas sangat lamban. Hal ini mungkin menjadi konsekuensi madrasah yang bersifat populis yang selalu cenderung memekar dan belum sempat mendalam.
Keterkaitan masyarakat terhadap madrasah ini lebih ditampakkan sebagai “ikatan emosional” dibanding katan rasional. Ikatan ini muncul dikarenakanbertemunya dua kepentingan. Pertama, hasrat kuat masyarakat Islam untuk berperan serta dalam pendidikan (meningkatkan pendidikan anak-anak disekitar tempat tinggalnya). Kedua, motivasi keagamaan (keinginan agar anak-anak mereka selain mendapat pendidikan umum juga mendapat pendidikan agama yang cukup).
Kuatnya ikatan emosional masyarakat ini telah menyebabkan madrasah menjadi lebih massif, populis dan mencarminkan suatu gerak masyarakat bawah. Oleh karena itu, madrasah lebih banyak terdapat dipedesaan atau di daerah pinggiran atau lebih di motivasi secara intrinsic bahwa belajar dianggap sebagai suatu kewajiban. Motivasi agama ini didukung pula oleh ajaran wakaf yang member dorongan bahwa tanah/sarana yang diwakafkan akan terus mengalir amalnya walaupun yang bersangkutan telah meninggal dunia. Maka tidak heran jika hamper seluruh tanah madrasah adalah wakaf.
Keterkaitan emosional ini disatu sisi merupakan potensi dan kekuatan madrasah karena rasa memiliki dan rasa tanggung jawab yang ditanamkan sangat tinggi. Akan tetapi dipihak lain hal ini akan menjadi kendala karena mereka merasa sebagai pemilik dan pendiri yang membina madrasah sejak awal. Sebagian masyarakat mungkin tidak akan menerima dengan mudah ide-ide reformasi yang diluncurkan, kecuali dalam keadaan terdesak.
Menurut Husni Rahim, reformasi pendidikan agama Islam akan selalu menuntut adanya perubahan sikap masyarakat dan pengelola lembaga pendidikan (terutama swasta) dari paradigm lama ke paradigm baru, yaitu madrasah sebagai pendidikan umum yang berciri khas Islam. Mungkin saja ada sebagian masyarakat dan pengelola yang merasa keberatan dengan perubahan tersebut dengan dalih bahwa muatan pendidikan keagamaan pada MI, MTs, dan MA menjadi berkurang. Dengan demikian lulusan madrasah tidak jauh berbeda dengan lulusan sekolah umum lainnya.
Keadaan tersebut menimbulkan adanya kecenderungan baru dikalangan umat Islam Indonesia untuk mendirikan sekolah atau Madrasah Unggulan. Hal ini tentunya bernilai positif karena lembaga pendidikan Islam selama ini dinilai kurang menjanjikan. Dalam kaitan ini A. Malik Fadjar selaku Menteri Pendidikan pernah berkomentar:
“Kurang ketertarikannya masyarakat untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan Islam sebenarnya bukan karena telah terjadi pergeseran nilai atau ikatan keagamaan yang mulai memudar, melainkan karena sebagian besar kurang menjanjikan dan kurang responsive terhadap tuntutan dan permintaan saat ini maupun mendatang.”
Para orang tua murid agaknya mulai tertarik untuk menitipkan anak-anaknya disekolah-sekolah Islam unggulan, seperti Al-Azhar, Madrasah Pembangun UIN, dan Insan Cendikia, dan bahkan di pesantren-pesantren. Hal ini mengingat pondok pesantren yang ada sekarang ini umumnya bukan lagi pesantren tempo dulu. Menurut Suwito (2002), dalam perkembangannya, banyak pondok pesantren yang selain mengajarkan pengetahuan agamaIslam juga menyelenggarakan berbagai kegiatan lain, seperti pramuka, koperasi, latiha berbagai keterampilan, juga pendidikan formal seperti madrasah dan sekolah umum bahkan perguruan tinggi. Bahkan pondok pesantren modern yang menggunakan pengantar Bahasa Arab dan/ atau Inggris telah menjadi trademark pendidikan Islam masa depan.
Demikian sekilas tentang dinamika dan kontinuitas madrasah di Indonesia hingga sampai pada bentuknya yang sekarang. Keberadaannya terus mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan konteks yang melingkupinya. Sejalan dengan itu, dinamisasi pemikiran generasi bangsa untuk terus memajukan dan mengkontekstualisasikannya menjadi sebuah keniscayaan.
3. Perkembangan Madrasah Diniyah di Era Legalitas Pendidikan
Madrasah, juga pendidikan Islam lainnya, terus menghadapi pilihan yang tidak mudah, yaitu antara kebutuhan keagamaan dan kebutuhan duniawi. Disatu sisi, madrasah dituntut bias berfungsi meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuanmengamalkan ajaran Islam. Sementara disisi lain, lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tidak seluruhnya bias dipecahkan dengan ilmu agama. Selama ini, umat Islam meyakini ajaran Islam telah selesai disusun tuntas dalam ilmu agama sebagai panduan penyelesaian seluruh persoalan kehidupan duniawi. Sementara, ilmu-ilmu umum (non-agama) dipandang bertentangan dengan ilmu-ilmu agama akan membawa kesengsaraan umat Islam. Namun persoalan duniawi yang terus berkembang, ternyata tidak seluruhnya bias dipecahkan dengan ilmu-ilmu agama.
Oleh karena itu sejak madrsah dikembangkan bersamaan munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, kurikulm madrasah terus berubah. Awalnya, kurikulum madrasah hanya terdiri dari ilmu agama. Bentuk madrasah dikenal dengan madrasah diniyah yang telah ada sejak abad-abad pertama sejarah Islam di Timur Tengah.
Problem integrasi ilmu dalam sistem madrasah dan tujuan praktis peningkatan daya saing lulusannya, lebih sulit dipecahkan karena pada saat yang sama, lembaga ini harus memenuhi tujuan yang disusun pada dataran metafisik. Seluruh model pendidikan Islam; pesantren, sekolah Islam dan pendidikan agama Islam di sekolah umum, bertujuan untuk membentuk pribadi muslim yang takwa, berakhlak mulia, cerdas dan terampil. Tujuan ini berlaku bagi semua tingkat dan jenis pendidikan Islam, termasuk madrasah itu sendiri.
Ironinya, hingga kini, selain evaluasi tujuan cerdas dan terampil, belum pernah ada sistem evaluasi yang bias dijadikan ukuran apakah ketakwaan, kepribadian Muslim, dan kahlak mulia yang telah dicapai. Evaluasi tujuan metafisik ini seperti model evaluasi lain, berfokus pada kemempuan kognisi peserta didik atas ilmu-ilmu agama tanpa teori yang bias menjelaskan hubungan antara penguasaan ilmu agama dengan kepribadian Muslim, ketakwaan, dan akhlak mulia.
Oleh Karen itu, rekontruksi dan sistematisasi tujuan metafisik pendidikan Islam, seperti madrasah, secara pragmatis merupakan tuntutan yang harus dipenuhi. Sekitar tahun 1950-an, sebenarnya sudah muncul gagasan dari persatuan guru agama di Yogyakarta dalam memenuhi tuntutan itu. Ditingakt dasar, tujuan pendidikan lebih difokuskan pada kemampuan peserta didik untuk mengamalkan berbagai praktik ibadah. Pada jenjang lebih tinggi, mulai dikembangkan. Sayang, gagasan ini tidak mendapatkan respon sehingga tujuan pendidikan Islam disemua jenjang dan jenis, hingga kini tetap diletakkan pada tujuan metafisik seperti diatas.
Madrasah sebagai institusi pendidikan keagamaan di Indonesia, memiliki sejarah yang sangat panjang, penelusuran jejak-jejak madrasah dapat dimulai dari upaya-upaya memperbarui sistem pendidikan Islam, baik yang dilakukas secara pribadi oleh pemimpin-pemimpin Islam, maupun yang dilakukan secara institusional lewat organisasi sosial-keagamaan.
Pembaruan pendidikan Islam model madrasah yang dilakukan secara perorangan, seperti yang dilakukan Abdullah Ahmad di Padang Panjang pada 1907 mendirikan sekolah Adabiyah. Berbeda dengan sistem surau, dalam sekolah Adabiyah sistem klasikal dilakukan dan dilaksanakan secara konsekuen.
Tokoh lain yang menggagas pembaruan pendidikan Islam adalah Zainudin Lubai Al-Jinusi. Pada tahun 1915, ia membuka sekolah guru Diniyah dengan mempergunakan sistem berkelas dengan kurikulum yang lebih teratur dan mencakup pengetahuan umum, seperti bahasa, matematika, sejarah, ilmu bumi, disamping pelajaran agamadan kegiatan ekstra berupa klub music.
Pembaruan pendidika Islam yang juga menjadi cikal bakal madrasah juga dilakukan organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyyah dan masyarakat keturunan Arab baik di Jakarta, Surabaya dan beberapa tempat lainnya. Sebagai gerakan keagamaan yang banyak berkiprah dalam bidang pendidikan, Muhammadiyyah pada tahun-tahun awal berdirinya banyak mendirikan sekolah-sekolah, misalnya pada akhir tahun 1923 di Yogjakarta, telah didirikan tempat sekolah dasar mUhammadiyyah yang sudah mulai memperispkan mendirikan sekolah HIS (Hollands Inlands School) dan sekolah pendidikan guru. Diluar Yogjakarta seperti di Jakarta, Muhammadiyyah juga sibuk mendirikan HIS. Disamping pendidikan sekolah yang mengikuti model gubernemen, Muhammadiyyah dalam waktu singkat juga mendirikan sekolah yang lebih bersifat agama. Sekolah ini seperti madrasah diniyyah di Minangkabau, yang dimaksudkan untuk mengganti dan memperbaiki pengajian Al-Qur’an yang tradisional.
Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, setidak-tidaknya karena beberapa alasan: a)sebagai manifestasi pembaharuan sistem pendidikan Islam, b) penyempurnaan sistem pesantren, c) keinginan sebagian kalangan santri terhadap model pendidikan Barat. Pendapat yang lain mengatakan bahwa kelahiran madrasah di Indonesia karena dua factor. Dua factor tersebut adalah, pertama karena pembaruan Islam, karena kemunculan madrasah tidak bias dilepaskan dari gerakan pembaruan Islam, yang dimotori oleh sejumlah intelektual Islam dan organisasi keagamaan Islam. agaknya kaum intelektual dan aktivis gerakan Islam memandang bahwa pendidikan adalah medan yang sangat strategis dalam membentuk pandangan leislaman masyarakat. Bahkan pendidikan dapat dijadikan sebagai instrument pengenalan ideology keagamaan, seperti yang dianut para aktivis organisasi keagamaan. Dan kedua adalah sebagai respon terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Madrasah dalam beberapa hal dapat dikatakan sebagai lembaga persekolahan ala Belanda yang diberi muatan keagamaan. Sistem pendidikan yang diperkenalkan pemerintah kolonial adalah sebagai jawaban terhadap kenyataan sistem pendidikan pribumi yang tidak layak untuk diperbaharui, karena kebiasaan-kebiasaan yang cukup jelek, baik dari segi kelembagaan, kurikulum maupun metode pengajarannya.
Madrasah sebagai lembaga yang semi formal ini agaknya merupakan gejala awal abad ke-20. Ditilik dari sejarah kemunculannya, agaknya terkait dengan gerakan pembaruan Islam yang sedang marak di kawasan Timur Tengah pada akhir abad ke-19 hingga permulaan abad ke-20. Bersamaan dengan itu, wilayah Nusantara yang sedang berada dibawah kekuasaan kolonial, dengan berbagai kebijakan politiknya yang banyak merugikan umat Islam, telah melahirkan perlawanan-perlawanan baik yang bersifat politis maupun cultural. Lahirnya bentuk-bentuk baru pendidikan Islam, merupakan reaksi kulturalyang muncul dari kalngan umat Islam yang melihat adanya persoalan mendasar yang belum tertangani secara serius oleh umat Islam. pada aspek inilah beberapa pribadi Muslim dengan gerakan sosial-keagamaan, mencoba memberikan kontribusinya untuk umat. Sementara yang lain, melakukan perlawanan melalui gerakan sosial politik.


B. LEGALITAS PENDIDIKAN
1. Pengertian Legalitas Pendidikan, Tujuan dan Fungsi Legalitas Pendidikan
Secara literature lagalitas berasal dari bahasa Inggris legality yang berarti legalitas, sahnya, kesahan, atau dapat juga berarti perihal sah . Dan pendididkan atau dalam bahasa Inggris adalah education yang berasal dari bahasa latin educare berarti memasukkan sesuatu, baragkali memasukkan ilmu ke kepala seseorang.
Legalitas pendidikan akan diberikan baik kepada lembaga pendidikan maupun kepada induvidu, apabila telah melakukan tahap evaluasi. Evaluasi adalah suatu proses berkelanjutan tentang pengumpulan dan penafsiran informasi untuk menilai (assess) keputusan-keputusan yang dibuat dalam merancang suatu sistem pengajaran. Rumusan itu mempunyai tiga implikasi, yaitu sebagai berikut.
Pertama, evaluasi adalah suatu proses yang terus menerus, bukan hanya berakhir pada pengajaran, tetapi dimulai sebelum dilaksanakannya pengajaran sampai dengan berakhirnya pengajaran.
Kedua, proses evaluasi senantiasa diarahkan ketujuan tertentu, yakni untuk mendapatkan jawaban-jawaban tentang bagaimana memperbaiki pengajaran.
Ketiga, evaluasi menurut penggunaan alat-alat ukur yang akurat dan bermakna untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan guna membuat keputusan. Dengan demikian, evaluasi merupakan proses yang berkenaan dengan pengumpuan informasi yang memungkinkan kita menentukan tingkat kemajuan pengajaran dan bagaimana berbuat baik pada waktu-waktu mendatang.
Setelah melakukattahap evaluasi kemudian masuk kedalam ranah nilai. Adapun nilai adalah ukuran untuk menghukum atau memilih tindakan dan tujuan tertentu. Nilai sesungguhnya tidak terletak pada barang atau peristiwa, tetapi manusia memasukkan nilai kedalamnya, jadi, barang mengandung nilai, karena subyek yang tahu dan menghargai nilai itu. Tanpa hubungan subyek atau objek, nilai tidak ada. Suatu benda ada, sekalipun manusia tidak ada. Karena nilai itu tidak bernilai, kalau manusia tidak ada. Karena itu nilai adalah cita, idea, bukan fakta. Sebab itulah, tidak ada ukuran-ukuran yang objectif tentang nilai dan karenanya ia tidak dapat dipastikan secara kaku.
Sumber nilai bukan budi (pikiran) tapi hati (perasaan). Karena itu, soal nilai berlawanan dengan soal ilmu. Ilmu terlibat dalam fakta, sedangkan nilai dengan cita. Salah benarnya suatu teori ilmu dapat dipikirkan. Indah-jeleknya suatu barang dan baik-buruknya suatu peristiwa dapat dirasakan. Sedangkan perasaan tidak ada ukurannya, karena tergantung kepada setiap orang. Jadi, subjektif sekali.
Didalam kehidupan sehari-hari manusia selalu member nilai tinggi atau rendah kepada benda-benda, gagasan-gagasan, fakta-fakta, peradaban serta kejadian berdasarkan keperluan, kegunaan dan kebenarannya. Beberapa benda kita nilai lebih baik atau lebih buruk, lebih berguna atau kurang berguna, lebih cantik dan yang lainnya. Menurut Hoffmeister, nilai adalah implikasi hubungan yang diadakan oleh manusia yang sedang member nilai antara suatu benda dengan suatu ukuran. Nilai kita rasakan dalam diri kita masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi penting dalam kehidupan, sampai pada suatu tingkat, dimana sementara orang lebih siap untuk mengorbankan hidup mereka daripada mengorbankan nilai.

2. Pembagian Legalitas Pendidikan
Adapun legalitas pendidikan jika ditinjau berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dapat di golongkan menjadi dua bagian.
a. Legalitas Pendidikan Secara Kelembagaan Pendidikan
Legalitas pendidikan ini didapatkan jika telah melakukan proses akreditasi. Adapun akreditasi menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
Akreditasi yang derangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 60 ayat 1, 2, dan 3, yang berbunyi: (1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. (2) Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik. (3) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
b. Legalitas Pendidikan Secara Personal (individu)
Berbeda dari legalitas pendidikan secara kelembagaan, legalitas pendidikan secara personal ini hanya menyangkut individu untuk mendapatkan hak yang sama dalam masalah pendidikan. Bentuk legalitas pendidikan individu ini dapat berupa sertifikat dan atau ijazah.
Ijazah adalah pertama berarti sertipikat tanda lulus, kedua bermakna surat tanda tama belajar, dan ketiga ijin yang diberikan ulama'/ kiai.
Masalah sertifikasi, dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 61 ayat 1, 2, dan 3, yang berbunyi: (1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi. (2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. (3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
Legalitas tersebut tidak lain bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan kualitas pendidikan. Guru adalah salah satu factor pendidikan yang memiliki peranan yang paling strategis, sebab gurulah sebetulnya ‘pemain’ yang paling menentukan didalam terjadinya proses belajar mengajar. Di tengah guru yang cekatan fasilitas dan sarana yang kurang memadai dapat diatasi, tetapi sebaliknya ditangan guru yang kurang cakap, sarana, dan fasilitas yang canggih tidak banyak memberikan manfaat.
Salah satu diantara cirri kemajuan zaman tersebut adalah adanya suatu pekerjaan yang ditangani secara profesionalitas, sehingga pekerjaan itu dikerjakan secara sungguh-sungguh dan serius oleh orang yang memiliki profesi di bidang tersebut. Pekerjaan guru merupakan pekerjaan profesi, karena itu mesti dikerjakan sesuai dengan tuntutan profesionalis.
Dibidang keguruan ada tiga persyaratan pokok sesorang itu menjadi tenaga profesinalis di bidang keguruan. Pertama, memiliki ilmu pengetahuan dibidang yang diajarkannya sesuai dengan kualifikasi dimana dia mengajar. Kedua, memiliki pengetahuan dan ketrampilan dibidang keguruan, dan ketiga, memiliki moral akademik.
Legalitas pendidikan tidak serta merta hanya membenahi dari segi pengajarnya saja, melainkan juga mensetting pendidikan yang hadap masalah. Pendidikan dengan memakai metode problem poing (hadap masalah) ini erat kaitannya dengan pendidikan kaum tertindas yang digagas Paulo Freire, seorang ahli pendidikan berkebangsaan Brazil. Dalam gagasannya dijelaskan bagaimana sistem pendidikan humanistic yang dilandaskan pada pengakuan akan hak dan kemampuan orang lain itu perlu ditegakkan. Kemerdekaan dalam berpendapat dan berargumen sangat perlu ditonjolkan karena setiap orang memiliki alasan dan pemahaman yangberbeda dan hal itu memang harus dipahami dan dimaklumi.
Paulo Feire menegaskan bahwa konsep pendidikan hadap masalah merupakan konsep yang harus dijalankan dan diajarkan pada generasi penerus agar mereka tidak terjebak dalam sistem yang senantiasa mengungkung perkembangan jiwa peserta didik. Adapun diantara sistem yang mengungkung tersebut adalah pendidikan “gaya bank”, dimana peserta didik dianggap tidak punya apa-apa ibarat celengan kosong yang perlu di isi dengan uang.
Istilah lain disebutkan membuat inovasi pendidikan kecakapan hidup (life skill). Pengembangan kurikulum berbasis life skill bertolak dari satu pandangan dasar bahwa pendidikan ditujukan untuk hidup, bukan sekedar mencari kerja. Hidup (al-hayah) adalah: “Inna al-hayah hiya al-harakah wa al-harakah hiya al-barakah wa al-barakah hiya al-ni’mah wa al-ziyadah wa al-sa’adah” (Muhamin, 2002). Hidup adalah bergerak (dinamis) yang dapat membawa berkah (kebajikan rohani dan jasmani, atau sesuatu yang mantap, atau kebajikan yang melimpah dan beraneka ragam serta bersinambung), dan hidup yang berkah adalah hidup yang membawa nikmat (anugerah, ganjaran, kelapangan, rezeki dan sebagainya), nilai tambah dan kebahagiaan.
3. Pembagian Kelembagaan Pendidikan Diniyyah.
Sebelum membahas tentang pembagian kelembagaan pendidikan yang ada di Indonesia, terlebih dahulu akan ditulis tentang sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan agama dan keagamaan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Bab I Ketentuan Umum ayat satu berbunyi “Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.”
Dan ayat dua berbunyi “Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.”
Selanjutnya pada ayat tiga berbunyi “Pendidikan diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan.”
Melanjutkan pembahasan pada Bab II Pendidikan Keagamaan Pasal 2, ayat satu berbunyi “Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama.”
Masih pada pasal 2, ayak kedua berbunyi “Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.”
Masih mengkaji PP tersebut pada Bab III Pendidikan Keagamaan pasal 8 ayat satu menuturkan Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
Dan ayat kedua menuturkan Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Dilanjutkan ke pasal 11 ayat kedua menyebutkan “Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.”
Dan ayat ketiga diteruskan dengan bunyi “Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya.”
Masih membahas tentang PP diatas, dalam pasal 14 ayat satu dipaparkan “Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren.” Ayat kedua “Pendidikan diniyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.”
Adapun pembagian kelembagaan pendidikan diniyyah telah dibahas dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama Dan Keagamaan adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan Diniyyah Formal
Pada pasal 15 yang berbunyi “Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.”.
Dilanjutkan dalam pasal 16 ayat: (1) Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat. (2) Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat. (3) Penamaan satuan pendidikan diniyah dasar dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hak penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.
Kemudian dalam pasal 17 ayat: (1) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar, seseorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun. (2) Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar. (3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah pertama, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah dasar atau yang sederajat. (4) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah atas, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat.
Pasal 18 ayat: (1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar. (2) Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.
Pasal 19 ayat: (1) Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan menengah diselenggarakan untuk menentukan standar pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam. (2) Ketentuan lebih lanjut tentang ujian nasional pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan.
Dan pasal 20 ayat: (1) Pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, vokasi, dan profesi berbentuk universitas, institut, atau sekolah tinggi. (2) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan untuk setiap program studi pada perguruan tinggi keagamaan Islam selain menekankan pembelajaran ilmu agama, wajib memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia. (3) Mata kuliah dalam kurikulum program studi memiliki beban belajar yang dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks). (4) Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.
2. Pendidikan Diniyah Non Formal
Adapun pembahasan pendidikan Diniyyah non formal pada pasal 21 ayat: (1) Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis. (2) Pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk satuan pendidikan. (3) Pendidikan diniyah nonformal yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan.
Kemudian dilanjutkan pada pasal 22 ayat: (1) Pengajian kitab diselenggarakan dalam rangka mendalami ajaran Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam. (2) Penyelenggaraan pengajian kitab dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang. (3) Pengajian kitab dilaksanakan di pondok pesantren, masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat.\
Lalu pada pasal 23 ayat: (1) Majelis Taklim atau nama lain yang sejenis bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia peserta didik serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta. (2) Kurikulum Majelis Taklim bersifat terbuka dengan mengacu pada pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta akhlak mulia. (3) Majelis Taklim dilaksanakan di masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat.
Dilanjutkan padal pasal 24 ayat: (1) Pendidikan Al-Qur’an bertujuan meningkatkan kemampuan peserta didik membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan Al Qur’an. (2) Pendidikan Al-Qur’an terdiri dari Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKQ), Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Ta’limul Qur’an lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis. (3) Pendidikan Al-Qur’an dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang. (4) Penyelenggaraan pendidikan Al-Qur’an dipusatkan di masjid, mushalla, atau ditempat lain yang memenuhi syarat. (5) Kurikulum pendidikan Al-Qur’an adalah membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat Al Qur’an, tajwid, serta menghafal doa-doa utama. (6) Pendidik pada pendidikan Al-Qur’an minimal lulusan pendidikan diniyah menengah atas atau yang sederajat, dapat membaca Al-Qur’an dengan tartil dan menguasai teknik pengajaran Al-Qur’an.
Dan terakhir pada pasal 25 ayat: (1) Diniyah takmiliyah bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT. (2) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang. (3) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dilaksanakan di masjid, mushalla, atau di tempat lain yang memenuhi syarat. (4) Penamaan atas diniyah takmiliyah merupakan kewenangan penyelenggara. (5) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan tinggi.

C. KUALITAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA
1. Pengertian, Tujuan dan Fungsi Pendidikan Agama Islam
Proses pembelajaran atau pendidikanmemungkinkan seseorang menjadi lebih manusiawi (being humanize) sehingga disebut dewasa dan mandiri. Itulah visi atau tujuan pembelajaran. Dan ini perlu kita perbincangkan lebih dahulu sebelum mempersoalkan tanggung jawab apa saja yang dipikul oleh seseorang dalam proses pembelajaran.
Kita tahu bahwa perbedaan antara anak-anak (child) dengan orang dewasa (adult) dapat diringkas dalam satu kata: kemampuan (ability). Kemampuan ini umumnya dikaitkan dengan sedikitnya tiga hal berikut: pengetahuan (know-what, knowledge), sikap (know-why, attitude), dan keterampilan (know-how, skill). Kanak-kanak memiliki pengetahuan yang amat terbatas hamper dalam segala hal, baik tentang dirinya, orang lain, alam semesta, apalagi tentang sang Khalik. Kanak-kanak juga belum mampu menentukan sikap, apakah harus positif atau negative, kritis atau nrimo, terhadap hamper semua hal yang terjadi dilingkungan sekitarnya. Dalam hal keterampilanpun sama saja, entah itu bersifat teknis-pertukangan (memukul, memanjat, memutar, membuka dan sejenisnya) maupun nonteknis-kemanusiaan (komunikasi, kepemimpinan, dan manajemen, dan people human skill lainnya). Jadi pertumbuhan seorang kanak-kanak menjadi manusia dewasa sesungguhnya ditandai denga perkembangan kemampuan-nya itu. Ia menjadi semakin mampu, semakin berdaya, dan semakin merdeka dari hal-hal yang diluar dirinya.
Secara umum, fungsi pendidikan dalam arti mikro (sempit) ialah membantu (secara sadar) perkembangan jasmani dan rohani peserta didik. Fungsi pendidikan secara makro (luas) ialah sebagai ala:
a. Pengembangan pribadi
b. Pengembangan warga Negara
c. Pengembangan kebudayaan
d. Pengembangan bangsa
Pada prisnsipnya mendidik ialah tuntunan, bantuan, pertolongan kepada peserta didik. Didalam pengertian member tuntunan telah tersimpul suatu dasar pengakuan bahwa anak (pihak yang diberi tuntunan) memiliki daya-daya (potensi) untuk berkembang. Potensi ini secara berangsur-angsur tumbuh dan berkembang dalam diri anak. Untuk menjamin berkembangnya potensi-potensi agar menjadi lancer dan terarah, diperlukan pertolongan, tuntunan dari luar. Jika pertolongan dari luar tidak ada, maka potensi tersebut tetap tinggal potensi belaka yang tidak sempat diaktualisasikan.
Secara umum, dapat dikatakan di dunia Muslim terdapat dua sistem pendidikan yang mengikuti dua metode pengajaran—yang modern dan tradisional. Menurut tradisional, para pelajar telah diharapkan Qur,an dan Sunnah sebagai kebenaran mutlak yang telah melanjutkan penjelajahan tehadap sumber-sumber pengetahuan lain.
Dengan demikian, kerangka metafisika yang disediakan oleh Islam membantu pelajar untuk menggunakan logika sambil menjelaskan atau menafsirkan sesuatu idea tau merumuskan konsep-konsep baru. Tidak seorangpun mempertanyakan kerangka metafisika keagamaan. Metode lain, yang dipelajari dari para ahli sains metode penyelidikan ilmiah modern, merupakan pertanyaan kritis dan penuh keraguan.
Metode itu dimulai tanpa sesuatu premis yang telah disetujui. Bahkan Qur,an dan Sunnah perlu dapat pembenaran sebagai sumber pengetahuan yang valid. Sebagian dari cerita tentang sejumlah Nabi, termasuk seluruh kisah manusia pertama dan Yusuf (Joseph) dan Musa (Moses), tidak dapat diterima sebagai fakta sejarah dari sudut pandang ini. Kisah-kisah tersebut diperlakukan sebagai kisah yang mengajarkan kepada kita pelajaran berharga.
Komponen-komponen sifat dasar (tabiat) manusia yang diakui adalah tubuh, ruh dan akal. Tujuan pendidikan Islam secara umum dapat dibagi kedalam tiga kelompok utama tersebut. Tujuan umum ini harus dibangun berdasarkan ketiga komponen ini yang masing-masingnya harus dipelihara sebaik-baiknya. Kegagalan dalam hasil memproduksi suatu pribadi akan menyebabkan hasilnya tidak kualified bagi peran khalifah. Sebagaimana menghancurkan salah satu dari tiga komponen ini akanmenyebabkan hilangnya tiga komponen pokok sebagai kesatuan yang utuh dan bulat, pandangan yang sama terjadi manakala tujuan pendidikan mengabaikan unsure-unsur dasariah manusia. Ini berarti, bahwa kita didalam pendidikan ini mempunyai tiga tujuan pokok, yakni tujuan jasmaniah (ahdaf al-jismiyyah), tujuan ruhani (ahdaf al-ruhiyyah) dan tujuan mental (ahdaf al-‘aqliyyah).
Pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman bukan sekedar perlengkapan dan peralatan fisik atau kuasi fisik pengajaran seperti buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, melainkan sebagai intelektualisme Islam karena baginya hal inilahyang dimaksud dengan esensi pendidikan tinggi Islam. Hal ini merupakan pertumbuhan suatu pemikiran islam yang asli dan memadai, dan yang haarus memberikan criteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah sistem pendidikan Islam.
Pendidikan Islam dapat mencakup dua pengertian besar. Pertama, pendidikan Islam pengertian praktis, yaitu pendidikan yang dilaksanakan di dunia Islam seperti yang diselenggarakan di Pakistan, Mesir, Sudan, Saudi, Iran, Turki, Maroko dan sebagainya, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Untuk konteks Indonesia, meliputi pendidikan di pesantren,di madrasah (mulai dari Ibtidaiyah sampai Aliyah) dan di perguruan tinggi Islam, bahkan bias juga pendidikan agama Islam di sekolah (sejak dari dasar sampai atas) dan pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum. Kedua, pendidikan tinggi Islam yang disebut dengan intelektualisme Islam. Lebih dari itu, pendidikan Islam menurut Rahman dapat juga dipahami sebagai proses untuk menghasilkan manusia (ilmuan) integrative, yang padanya terkumpul sifat-sifat seperti kritis, kreatif, dinamis, inovatif, progresif, adil, jujur dan sebagainya. Ilmuwan yang demikian itu diharapkan dapat memberikan alternative solusi atas problem-problem yang dihadapi oleh umat manusia di muka bumi.
Secara teori pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu merupakan konsep pendidikan yang mengandung berbagai teori yang dapat dikembangkan dari hipotesa-hipotesa yang bersumber dari Al-Qur’an dan maupun hadist baik dari segi sistem, proses, dan produk yang diharapkan mampu membudayakan umat manusia agar bahagia dan sejahtera dalam hidupnya.
Dari segi teori, pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang bersifat progresif menuju kearah kemampuan optimal anak didik yang berlangsung diatas landasan nilai-nilai ajaran Islam. Ilmu pendidikan Islam mengandung kesesuaian (kompormitas) pandangan dengan teori-teori dalam ilmu paedagogik, terutama menyangkut masalah anak didik, pendidik, alat-alat pendidikan dan lain sebagainya, sehingga dalam pengembangan teorisasi ilmu pendidikan Islam bisa meliputi aspek hakikat pendidikan Islam, strategi pendidikan Islam, ruang lingkup pendidikan Islam serta metode yang akan digunakan.
Esensi pendidikan agama Islam ialah terdapatnya unsure iman, ilmu dan amal dalam totalitas teori dan praktek suatu pendidikan. Sesuatu kegiatan atau lembaga tertentu bisa dikategorikan sebagai “pendidikan Islam” manakala didalamnya dikembangkan secara harmonis ketiga unsure tersebut. Ketentuan “secara harmonis” ini penting, mengingat bahwa Islam tidak berat sebelah dalam memandang dunia dan akhirat, dimana untuk mencapai kesempurnaan hakiki dalam menelusuri jalan keduanya, diperlukan dukungan iman, ilmu dan amal secara berimbang.
Adapun tujuan pendidikan Islam ialah membentuk manusia berjasmani kuat/sehat dan trampil, berotak cerdas dan berilmu banyak, berhati tunduk kepada Allah, serta mampunyai semangat kerja yang hebat, disiplin yang tinggi dan pendirian yang teguh. Karena itu pengembangan fitrah manusia dengan ajaran agama Islam harus diarahkan kesini.

2. Peran Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Islam adalah lembaga pendidikan yang dikelola, dilaksanakan, dan diperuntukkan bagi umat Islam. oleh sebab itu lembaga pendidikan Islam menurut bentuknya dapat dibedakan dalam dua, yaitu lembaga pendidikan Islam diluar sekolah dan lembaga pendidikan Islam didalam sekolah.
Pendidikan Islam memandang keluarga, amsyarakat, dan tempat-tempat peribadahan ataupun lembaga-lebaga pendidikan di luar sekolah, seperti TPA sebagai bentuk pendidikan, dan ini dalam sistem pendidikan nasional disebut pendidikan diluar sekolah. Sedangkan bentuk-bentuk lembaga pendidikan Islam didalam sekolah kita kenal dengan sekolah Islam, madrasah, Lembaga Pendidikan Kejuruaan (LPK) Islam, Balai Latihan Kerja (BLK) Islam, Perguruan Tinggi Islam, dan seterusnya.
Konkretnya kita dapat merujuk pada bentuk-bentuk lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia. Keberadaan lembaga / institusi pendidikan Islam di Indonesia dapat dibedakan dalam tiga kelompok besar: (1) sekolah Islam dan atau madrasah, (2) pesantren; (3) pendidikan nonformal seperti pendidikan dalam keluarga, TPA ataupun majlis taklim.
Sains Islam berwujud dari perkawinan antara semangat yang berasal dari Al-Qur’an dengan sains-sains yang sudah wujud dari berbagai peradaban yang diwarisi Islam dan dirubahnya melalui kekuasaan spiritualnya menjadi bentuk yang baru, sekaligus berbeda dari dan berlanjutan dengan apa yang telah wujud sebelumnya. Watak peradaban Islam yang bersifat internasional dan cosmopolitan, yang berpangkal pada ciri-ciri universal dan wahyu Islam sendiri dan dicerminkan oleh perkembangan geografis dunia Islam membolehkannya mencipta sains pertama yang betul-betul bersifat internasional dalam sejarah umat manusia.
Adalah niscaya bahwa kehadiran lembaga pendidikan Islam yang berkualitas dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan itu sesungguhnya sangat diharapkan oleh berbagai pihak, terutama umat Islam, bahkan kini terasa sebagai kebutuhan yang sangat mendesak terutama bagi kalangan muslim kelas menengah keatas yang secara kuantitatif terus meningkat belakangan ini. Fenomena sosial yang menarik ini semestinya bisa dijadikan tema sentral kalangan pengelola lembaga pendidikan Islam dalam melakukan pembaharuan dan pengembangannya. Namun yang kita saksikan justru sebaliknya, diberbagai tempat banyak lembaga pendidikan Islam terutama tergolong “kelas pinggiran” satu persatu mengalami penyusutan karena kehilangan kepercayaan dari umat mapun peminatnya. Sementara itu lembaga-lembaga yang latar belakang keagamaannya berbeda namun dikelola secara professional dan menempatkannya pada konteks kemasyarakatan yang lebih luas memperlihatkan perkembangan yang demikian pesat sehingga keberadaannya semakin kokoh.
Pendidikan agama Islam merupakan proses yang komperehensif dari pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan., yang meliputi intelektual, spiritual, emosi dan fisik. Sehingga seorang muslim disiapkan dengan baik untuk melaksanakan tujuan kehadirannya di sisi Tuhan sebagai hamba dan wakil-Nya di muka bumi.
Ruang lingkup pengembangan materi pendidikan agama Islam meliputi: akidah, syari’ah, dan akhlaq. Tuntutan ideal ini menekankan bahwa pendidikan dan pengajaran yang diberikan di sekolah-sekolah, selain mengajarkan kepandaian akal (rasio) juga dituntut menanamkan benih kemerdekaan, demokrasi, kebenaran yang luhur, keikhlasan hati, secara kecintaan serta kesetiaan dan kecintaan kepada kebenaran. Sebagaimana yang diterapkan pada sistem pendidikan zaman keemasan Islam. pendekatan yang dilakukan adalah dengan berpikir secara filosofis. Dengan berpikir secara filosofis dan merdeka, umat Islam akan dapat berpikr objektif dan kritis dalam memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, serta apresiatif membangun sebuah kebudayaan umat yang dinamis. Dengan dinamika tersebut, manusia akan mampu mengenal Tuhannya, menambah imannya kepada kebenaran ajaran agama yang diyakininya, dan menciptakan kebudayaan yang bermanfaat bagi seluruh alam semesta. Pendekatan yang demikian sesungguhnya merupakan wawancara universalitas Islam sebagai sebuah agama yang dinamis.
Pandangan serupa dikemukakan Yusuf Qardhawi dengan mengatakan bahwa:
Iman bukan hanya sekedar pengetahuan pikiran seperti pengetahuan kaum teolog danfilosuf, bukan pula semata-mata penginderaan ruhani seperti penginderaan kaum sufi (tasawuf), bukanhanya praktik-praktik peribadatan ritual sebagaimana yang dilakukan ahli-ahli ibadat, akan tetapi iman merupakan kesatuan yang utuh dari ketiga hal tersebut. Pola berpikir yang demikian akan dapat menumbuhkan sikap positif untuk memakmurkan dunia ini secara banar, mengisi hidup dengan akhlak al-karimah, dan menuntunnya kejalan yang benar.
Peran pendidikan agama Islam sebenarnya dapat diketahui dari visi dan misi pendidikan Islam. Adapun visi dan misi pendidikan Islam yaitu membentuk insan kamil yang berfungsi mewujudkan rahmatan lil ‘alamin. Selain itu, visi dan misi tersebut juga perlu disesuaikan dengan latar belakang, kondisi local masing-masing, dan didasarkan pada nilai-nilai budaya. Dengan demikian, dalam merumuskan misi dan visi pendidikan harus berdasarkan pada core beliefs dan core values, dan untuk mencapai visi dan misi tersebut harus dilaksanakan dengan penyusunan kebijakan dan strategi secara operasional.
Peran pendidikan Islam yang ada di Indonesi antara lain melahirkan pemiki-pemikir Islam yang berangkat dari konteks yang ada di Indonesia, antara lain lahirnya Nahdlatul Ulama yang didirikan pada tanggal 31 januari 1926 M., bertepatan 1 Rajab 1344 H., di Surabaya. Organisasi ini didirikan oleh para kiai dari beberapa daerah di Jawa Timur diantaranya adalah:
1) K.H Hasyim Asy’ari Tebuireng,
2) K.H Abdul Wahab Hasbullah,
3) K.H Bisri, Jombang,
4) K.H Riduwan, Semarang
5) K.H Nawawi, Pasuruan,
6) K.H.R. Asnawi, Kudus,
7) K.H.R. Hambali, Kudus,
8) K.H Nakhrawi, Malang,
9) K.H Doromuntaha, Bangkalan,
10) K.H.M. Alwi Abdul Aziz.

3. Dedikasi Madrasah Diniyah
Dedikasi madrasah diniyyah dapat dilihat dari madrasah dalam kaitannya dengan satuan pendidikan lain, khususnya sekolah umum dan madrasah, madrasah diniyyah dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu:
a. Madrasah diniyah wajib, yaitu madrasah diniyah yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sekolah umum atau madrasah diniyah yang besangkutan wajib menjadi siswa madrasah diniyah. Kelulusan sekolah umum atau madrasah yang bersangkutan tergantung pada kelulusan madrasah diniyyah. Madrasah diniyah ini juga disebut madrasah diniyah komplemen, karena sifatnya komplementatif terhadap sekolah umum atau amdrasah.
b. Madrasah diniyah pelengkap, yaitu madrasah diniyah yang diikuti oleh siswa sekolah umum atau madrasah sebagai upaya menambah atau melengkapi pengetahuan agama dan bahasa Arab yang sudah mereka peroleh dari sekolah umum atau madrasah. Berbeda dengan madrasah diniyah wajib, madrasah diniyah pelengkap ini tidak menjadi bagian dari sekolah umum atau madrasah, tetapi berdiri sendiri. Hanya siswanya berasal dari sekolah umum atau madrasah. Madrasah diniyah ini juga disebut madrasah diniyah suplemen, karena sifatnya suplementatif terhadap sekolah umum atau madrasah.
c. Madrasah diniyah murni, yaitu madrasah diniyah yang siswanya hanya menempuh pendidikan di madrasah diniyah tersebut tidak merangkap di sekolah umum maupun madrasah diniyah independen, karena bebas dari siswa yang merangkap di sekolah umum ataupun madrasah.
Dari segi pengertian, madrasah diniyah adalah bentuk madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama (diniyah). Dan diitinjau dari sei]gi historis dapat dilihat bahwa madrasah telah mengalami perubahan-perubahan. Pada tahap awal, madrasah semata-mata mengajarkan mata pelajaran agama, kemudian sesuai dengan tuntutan zaman, madrasah memasukkan mata pelajaran umum. Perkembangan berikutnya dengan keluarnya SKB Tiga Menteri tahun 1975 pada fase ini mata pelajaran umum pada madrasah lebih didominan dengan sekitar 70%. Walaupun demikian kedudukan mata pelajaran agama tetap memegang peranan yang amat penting.
Bersamaan dengan perkembangan pendidikan agama di sekolah umum, perhatian terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya terjadi sejak Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKIP) dimasa setelah kemerdekaan mengeluarkan maklumatnya tertanggal 22 Desember 1945. Isinya menganjurkan bahwa dalam memajukan pendidikan dan pengajaran agar pengajaran di langgar, surau, masjid dan madrasah berjalan terus dan ditingkatkan. Madrasah dalam bentuknya yang kita kenal saat ini secara harfiah berasal dari Bahasa Arab yang artinya sama atau setara dengan kata Indonesia “sekolah” (school). Madrasah disini kemudian memiliki konotasi spesifik dimana anak memperoleh pengajaran agama. Madrasah inilah yang tadinya disebut pendidikan keagamaan dalam bentuk belajar mengaji Al-Qur’an,kemudian ditambah dengan pelajaran ibadah praktis, terus ke pengajaran tauhid, hadist, tafsir tarikh Islam dan bahasa Arab. Kemudian masuklah pelajaran umum dan ketrampilan. Dari segi jenjang pendidikan, mulanya madrasah idengtik dengan belajar mengaji Al-Qur’an, jenjang pengajian kitab tingkat dasar dan pengajian kitab tingkat lanjut, kemudian berubah kejenjang Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyan, dan Madrasah Aliyah.
Perhatian pemerintah RI terhadap madrasah terbukti sejak Kementerian Agama dalam struktur organisasinya, memperuntukkan Bagian C bagian pendidikan dengan tugas pokoknya mengurusi masalah-masalah pendidikan agama disekolah umum dan pendidikan agama disekolah agama (madrasah dan pesantren).
Dari keterangan diatas telah kita ketahui bahwa bukti dedikasi madrasah diniyah bukan hanya melibatkan individu (anak didik/santri), melainkan juga menyangkut perhatian terhadap kelembagaan madrasah diniyah dan penerapan pembelajaran yang berfokus pada ilmu agama semata-mata mencetak out put yang mahir dalam ilmu agama Islam dan juga dapat menghadapi dunia dengan cara yang dinamis.


















BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis metode penelitian yang digunakan peneliti, menggunakan metode Kualitatif . Penelitian kualitatif kami maksudkan sebagai jenis peneilitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistic atau bentuk hitungan lainnya. Contohnya dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat dan perilaku seseorang, disamping juga tentang peranan organisasi, pergerakan social, atau hubungan timbal balik. Sebagai datanya dapat dihitung sebagaimanadata sensus, namun aslinya bersifat kualitatif. Sebenarnya istilah penelitian kualitatif bisa membingungkan, karena lain orang lain pula pemahamnnya. Beberapa peneliti mengumpulkan data melalui wawamcara dan pengamatan.
Lexy J. Moloeng (2004:8-13), beranjak dari gagasan Bogdan dan Biklen serta Lincoln dan Guba, menjelaskan karakteristik penelitian kualitatif sebagai berikut :
1. Latar Alamiah
Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity). Menurut Lincoln dan Guba, hal ini dilakukan karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya.
2. Manusia Sebagai Alat (instrumen)
Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Hal itu dilakukan karena, jika memanfaatkan alat yang bukan-manusia dan mempersiapkan dirinya terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam penelitian klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan.
3. Metode Kualitatif
Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan, wawancara, atau penelaahan dokumen. Metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode penelitian ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
4. Analisis Data Secara Induktif
Analisis data secara induktif ini digunakan karena beberapa alasan. Pertama, proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan jamak sebagai yang terdapat dalam data. Kedua, analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti-responden menjadi eksplisit, dapat dikenal, dan akuntabel. Ketiga, analisis demikian lebih dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat-tidaknya pengalihan pada suatu latar lainnya. Keempat, analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan. Kelima, analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari stuktur analistik.
5. Teori dari Dasar (grounded theory)
Penelitian kualitatif lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori substansif yang berasal dari data. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, tidak ada teori a-priori yang dapat mencakupi kenyataan-kenyataan jamak yang mungkin akan dihadapi. Kedua, penelitian ini mempercayai apa yang dilihat sehingga ia berusaha untuk sejauh mungkin menjadi netral. Ketiga, teori dari-dasar lebih dapat responsif terhadap nilai-nilai kontekstual. Pada intinya, penyusunan teori disini berasal dari bawah ke atas (grounded theory). Arah penyusunan teori itu akan menjadi jelas setelah data dikumpulkan.
6. Deskriptif
Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka, sehingga laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo, tulisan di media massa dan dokumen resmi lainnya.
7. Lebih Mementingkan Proses daripada Hasil
Penelitian kualitatif lebih mementingkan segi proses daripada hasil. Hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses.
8. Adanya Batas yang Ditentukan oleh Fokus
Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkan adanya batas dalam penelitian atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, batas menentukan kenyataan jamak yang kemudian mempertajam fokus. Kedua, penetapan fokus dapat lebih dekat dihubungkan oleh interaksi antara peneliti dan fokus.
9. Adanya Kriteria Khusus untuk Keabsahan Data
Penelitian kualitatif mendefinisikan validitas, realibilitas, dan objektivitas dalam versi lain dibandingkan dengan yang lazim digunakan dalam penelitian klasik.
10. Desain yang Bersifat Sementara
Penelitian kualitatif menyusun desain yang secara terus menerus disesuaikan dengan kenyataan di lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi. Hal ini disebakan oleh beberapa hal. Pertama, tidak dapat dibayangkan sebelumnya tentang kenyataan-kenyataan jamak dilapangan. Kedua, tidak dapat diramalkan sebelumnya apa yang akan berubah karena hal itu akan terjadi dalam interaksi antara peneliti dengan kenyataan. Ketiga, bermacam-macam sistem nilai yang terkait berhubungan dengan cara yang tidak dapat diramalkan.
11. Hasil Penelitian Dirundingkan dan Disepakati Bersama
Penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interprestasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, susunan kenyataan dari merekalah yang akan diangkat oleh peneliti. Kedua, hasil penelitian bergantung pada hakikat dan kualitas hubungan antara pencari dengan yang dicari. Ketiga, konfirmasi hipotesis kerja akan menjadi lebih baik verifikasinya apabila diketahui dan dikonfirmasikan oleh orang-orang yang ada kaitannya dengan yang diteliti.
Dlm refrensi yang lain di tuliskan Sebenarnya dalam melakukan penelitian Kualitatif kita harus paham dulu apa yang menjadi ciri dari penelitian kualitatif. Berikut ini bebepara ciri-ciri penelitian kualitatif yang disarikan penulis dari berbagai sumber. Ciri-ciri penelitian Kualitatif:
1. Data yang dikumpulkan lebih banyak berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka;
2. Yang menjadi instrumen penelitiannnya adalah manusia, dengan tidak ada jarak antara peneliti dan yang diteliti sehingga akan diperoleh pemahaman dan penghayatan obyek yang diteliti;
3. Pengunaan teori digunakan untuk membantu memahami gejala, setelah selesai meneliti teori tersebut dapat diterima atau ditolak sama sekali, bahkan menemukan teori baru.
4. Analisis data secara induktif;
5. Penelitian kualitatif biasanya melakukan penelitian pada latar belakang alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan suatu permasalahan;
6. Penelitian kuantitatif dapat mengunakan alat analisis statistik, tetapi tidak untuk pengujian hipotesis tetapi biasanya hanya membantu mengambarkan gejala;
7. Dan Penelitian Kualitatif biasanya lebih mementingkan “proses” dari pada “hasil’, hubungan antar bagian-bagian yang diteliti jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses;
8. Desain penelitian dapat berubah atau disesuaikan berdasarkan temuan-temuan pada saat melakukan penelitian; dsb.

B. Subyek Penelitian
Sampel data dipilih secara Purposive sampling dan snowball sampling. Purposive sampling adalag tekhnik pengambilan sample sumber data dengan pertimbangan tertentu dan snowball sampling adalah tekhnik pengambilan sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar. Adapun data yang nanti akan dikumpulkan peneliti bersumber dari:
a. Pengurus Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus.
b. Staf pengajar (para kiai).
c. Para santri Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus.
d. Para alumni Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus yang telah terjun dalam masyarakat.

C. Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik penelitian yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini menggunakan 3 hal agar dapat menjadi mudah dan mendapat informasi yang dikumpulkan merupakan informasi yang akurat dan dapat dipercaya. Adapun ke-3 hal tersebut adalah:
a. Wawancara (interview)
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seorang yang ingin memperoleh infomasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu. Wawancara secara garis besar dibagi menjadi dua, yakni wawancara tak terstruktur dan terstruktur. Wawancara tak terstruktur sering juga disebut wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara kualitatif, dan wawancara terbuka (open ended interview), wawancara geografis; sedangkan wawancara terstruktur sering juga disebut wawancara buku (standardized in interview), yang susunannya pertanyaannya sudah ditentukan sebelumnya (biasanya tertulis) dengan pilihan-pilihan jawaban yang juga sudah disediakan.
Wawancara tersebut dilakukan secara mendalam untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan peneliti untuk menjawab dan mengungkap permasalan yang ada dalam penelitian ini. Wawancara tersebut untuk menjawab pertanyaan sekitar:
1) Eksistensi Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus diera legalitas ini.
2) Bertahannya kurikulum dalam Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus berbasis Salafnya.
3) Fungsi ijazah santri-santri Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus.
b. Observasi
Observasi adalah metode ilmiah yang biasa diartikan sebagai pengamatan sistematik terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki. Metode observasi yang dilakukan peneliti yakni pengamatan yang mempunyai criteria sebagai berikut:
1. Pengamatan digunakan dalam penelitian dan telah direncanakan secara sistematik.
2. Pengamatan harus berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah direncanakan.
3. Pengamatan tersebut dicatat secara sistematis dan dihubungkan dengan proposisi umum dan bukan dipaparkan sebagai suatu set yang menarik perhatian saja.
4. Pengamatan dapat di cek dan di control atas validitas dan reliabilitasnya.
c. Dokumentasi
Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau fariabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat dan sebagainya. Dokumentasi ini digunakan peneliti untuk menjaga kemurnian data yang diperoleh dari lapangan waktu penelitian berlangsung. Adapun dokumentasi ini dapat berupa buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian ini demi memperoleh informasi visi dan misi struktur kepengurusan Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus dan sebagainya.

D. Tekhnik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif, tekhnik analisis data yang digunakan sudah jelas, yaitu diarahkan untuk menjawab rumusan masalah atau menguji hipotesis yang telah ditentukan dalam proposal. Analisis yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini menliputi 2 analisis, yaitu:
a. Analsisi sebelum di lapangan
Analsis dilakukan terhadap hasil studi pendahuluan, atau data sekunder, yang digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun demikian fokus penelitian ini masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan setelah di lapangan.
b. Analsisi selama di lapangan model Miles and Huberman
Analisis ini dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara peneliti sedah melakukan analsisi terhadap jawaban yang di wawancarai. Bila memuaskan maka peneliti akan melanjutkan penelitiannya lagi. Bila jawaban yang di wawancarai setelah dianalsis terasa belum memuaskan, maka peneliti akanmengajukan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang kredibel.

E. Penguji Keabsahan Data
Untuk menguji keabsahan data dalam penelitian kualitatif ini, peneliti menggunakan 4 macam cara, yaitu:
a. Uji kredibilitas
Uji kredebilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, trigulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan member check.
b. Uji transferability
Transferability merupakan validitas eksternal dalam penelitian kualitatif. Validitas eksternal menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian kepopulasi dimana sampel tersebut diambil.
c. Uji depandebility
Dalam penelitian kualitatif, uji depandebility dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruahan proses penelitian. Sering terjadi peneliti tidak melakukan proses penelitian ke lapangan, tetapi bisa memberikan data. Peneliti seperti ini perlu di uji depandebilitiannya. Kalau proses penelitian tidak dilakukan tetapi datanya ada, maka penelitian tersebut tidak reliable atau depandeble. Untuk pengujian depandebility dilakukan dengan cara melakukan audit terhadap keseluruahan prose penelitian. Caranya dilakukan oleh auditor yang independen, atau pembimbing untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian.
d. Uji konfirmability
Pengujian konfirmability dalam penelitian kualitatif disebut dengan uji obyektivitas penelitian. Penelitian dikatakan obyektif bila hasil penelitian telah disepakati banyak orang. Dalam penelitian kualitatif uji konfirmability mirip dengan uji depandebility, sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan. Menguji konfirmability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar konfirmability. Dalam penelitian, dalam proses tidak ada, tetapi hasilnya ada.















BAB IV
DESKRIPSI DATA DAN ANALISIS DATA

A. KEADAAN UMUM MADRASAH DINIYAH NU KRADENAN KUDUS
1. Kajian Historis
Kabupaten Kudus merupakan satu-satunya nama kota yang berasal dari bahasa Arab dan dalam realitanya sangat kental dengan nuansa religiusnya, meskipun zaman telah berganti-ganti tahun juga bertambah, namun kondisi kota Kudus masih akrab dengan nuansa Islamnya dan kebanyakan penduduknya adalah kaum santri yang identik dengan pengetahuan dan pengamalan agama Islam baik di lingkungan kota maupun desa-desanya.
Masyarakat yang didominasi golongan santri ini pastilah menuntut pula adanya lembaga pendidikan yang agama Islam (lembaga pendidikan diniyah). Hal tersebut tidak dapat dipungkiri adanya dan sudah menjadi kebutuhan wajib bagi setiap warga asli kudus yang selalu membekali putra-putri mereka dengan pengetahuan agama Islam untuk menjalani kehidupan dunia dan akhiratnya.
Berbicara tentang lembaga pendidikan diniyah di kabupaten Kudus, terdapat sebuah madrasah diniyah yang paling antik dan hanya ada satu-satunya di Kudus ini. Madrasah tersebut yang sekarang termasyhur dengan nama Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus, madrasah diniyah ini sangat masyhur di Kudus terutama bagi golongan kaum santri yang haus dengan siraman pengetahuan agama Islam dan ambisi untuk menguras warisan Salafu As-solihin yang berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus ini pertamakali di dirikan pada tahun 1964 M. oleh KH. Arwani Amin, KH. Hambali, KH. Jalal Shiddiq, KH. Naschan Imam, yang beliau-beliau ini telah di Panggil Allah dengan meninggalkan kenang-kenangan lembaga pendidikan diniyah yang melahirkan santri-santri yang benar-benar mumpuni di bidang ilmu Islam. Selain pendiri-pendiri yang disebut diatas, masih ada satu tokoh pendiri Madrasah Diniyah Kradenan NU Kudus yang sampai sekarang masih sugeng dan masih mengabdikan jiwa dan raganya untuk pendidikan agama Islam, beliau adalah KH. Sya’roni Achmadi. Beliau-beliau merupakan tokoh pendiri Madrasah Diniyah Kradenan NU yang nama besarnya tidak akan pernah luntur sepanjang masa meskipun raga telah berpisah namun ilmu pengtahuan dan barokahnya masih dapat dirasakan hingga sekarang.
Hal yang melatar belakangi berdirinya Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus, adanya selisih akidah antara faham Ahlussunna Wal Jama’ah dengan Wahabi . Aliran Wahabi di dirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin Musyrif bin Umar dari Bani Tamim , yang ajarannya diterapkan pada Madrasah Ma’ahid yang sekarang letaknya ada di sebelah makam Krapyak kota Kudus sekitar 600 M dari utara Menara Kudus. Para pendiri Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus mengabdikan ke dunia pendidikan Islam di lembaga pendidikan Islam berupa Madrasah Ma’ahid tersebut yang dahulunya berasaskan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, pendiri Madrasah Ma’ahid adalah KH. Muchit, setelah wafatnya KH. Muchit dan Madrasah Ma’ahid diteruskan oleh putra beliau, akidah ayahnya yang Ahlussunnah Wal Jama’ah diganti dengan faham Wahabi.
Pergeseran faham akidah tersebut menjadikan para kiai dan guru-guru di Madrasah Ma’ahid ini berjuang mempertahankan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ahnya dan terciptalah gagasan untuk mendirikan madrasah yang berasaskan Ahlussunnah Wal Jama’ah, gagasan tersebut kemudian melahirkan lembaga pendidikan Islam yang sekarang kita kenal dengan Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus.
Gagasan untuk melahirkan madrasah diniyah yang beraqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah ini, tidak berjalan dengan mulus, pertentangan juga dilakukan oleh orang Wahabi, KH. Ma’ruf Irsyad pada masa itu membuat pengumuman yang ditempelkan di dinding-dinding agar kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah mengetahui Madrasah Diniyah yang bari dirintis tersebut, pengumuman yang ada di dinding-dinding tidaklah berumur sampai 24 jam. Sore pengumuman ditempelkan, malamnya pengumuman di buang oleh golongan yang tidak menyukai faham Ahlussunnah Wal Jama’ah, dan masa tempel-buang pengumuman tersebut selama lebih kurang 3 bulan, dan para kiai dan guru yang beraqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah mash berusah bersabar dengan masalah tersebut. Itu merupakan kendala pertama yang di hadapi oleh para kiai-kiai dan asatidz yang ingin mempertahankan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ahnya.
Sebagaimana kendala-kendala yang dihadapi kebanyakan lembaga pendidikan yang baru berdiri, kendala yang menantang selanjutnya masalah tempat. Kendala tempat dapat diatasi dengan menempati madrasah yang di dirikan pula oleh KH. Arwani Amin, bernama Madrasah Diniyah Mu’awanatul Muslimin desa Kenepan utara makam Sunan Kudus. Pengajaran yang menempati gedung Mu’awanatul Muslimin hanya berjalan sekitar 2 tahun, setelah itu pindah ke desa Kwanaran yang pada masa sekarang di pakai untuk pengajian Thoriqoh . berada di desa Kwanaran, berjalan selama beberapa tahun muncul lagi kendala berupa seringnya libur dan menjadikan pengajaran kurang efektif. Libur tersebut tidak dapat terhindarkan, hari selasa pengajaran di liburkan dikarenakan gedung di desa Kwanaran dipakai untuk kegiatan Tawajjuhan kaum thoriqoh, selama bulam Rojab juga libur lagi selama 10 hari, bulan Muharram juga libur 10 hari. Akibat banyaknya libur, para kiai dan asatidz Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus pada masa itu merasa kasihan dengan santri-santrinya hingga pada akhirnya mendapatkan tanah fakaf dari H. Zainuri Noor pemilik percetakan Menara Kudus yang terletak di desa Kradenan. Dari tanah wakaf tersebut, dimulai pada tahun 1968 M. di bangunlah gedung Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus dan selesai pembangunannya pada tahun 1969 M. berjalannya waktu dan usia sebagaiana bangunan bangunan yang ada, gedung-gedung juga mengalami perawatan dan perenovasian untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang nyaman, hingga menjadi seperti yang ada sekarang ini.

2. Visi dan Misi
Sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan yang lainnya, para alim ulama mendirikan Madrasah diniyah NU Kradenan Kudus, bukan sekedar berdiri suatu lembaga, namun juga memiliki visi dan misi yang jelas.
Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus memiliki visi: “تفقه فى الدين (Tafaqquh Fi Al-din)”
Adapun misi Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus adalah sebagai berikut:
a. Menciptakan anak didik yang berilmu Islam berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
b. Menciptakan anak didik yang cakap dalam keilmuan Islam dan bermanfa’at bagi masyarakat.
Dari visi dan misi yang telah dipaparkan diatas, Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus bertujuan:
a. Untuk menciptakan anak didik (santri) yang dapat menguasai segala pengetahuan agama Islam yang berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
b. Untuk menciptakan out put yang religious dan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan.

3. Letak Geografis
Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus ditinjau dari segi geografis terletak di desa Dema’an Dukuh Kradenan Kecamatan Kota Kudus. Madrasah ini memang tidak terlihat dari jalan raya jl.Sunan Kudus, namun terletak di jantung kota Kudus. Dari alun-alun kota Kudus hanya berkisar 600 M. ke arah barat dan sebelum Kali Gelis masuk gang ke arah selatan tepatnya di Jl. Wahid Hasyim Gg Masjid Kradenan. Oleh karena itu, nama Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus di ambil dari nama dukuh desa Kradenan bagian dari desa Dema’an kecamatan kota Kudus.
Bangunan yang ada sekarang ini merupakan tanah wakaf dari seorang pengusaha kaya yang tergugah hatinya melihat perjuangan keras alim ulama’ Kudus pada waktu itu untuk mewakafkan tanah demi kelancaran pendidikan Islam yang berasaskan Ahlussunnah Wal Jama’ah, pengusaha tersebut adalah H. Zainuri pemilik percetakan Menara Kudus (MK).
Jika hendak ke Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus arah dari daerah mana saja turun di terminal Kudus, lalu naik angkot jurusan sub terminal Jetak turun di perempatan Jember, kemudian naik becak kearah timur tujuan desa Dema’an dukuh Kradenan. Tepatnya gang pertama sebelah timur Kaligelis masuk ke selatan dan turun di Masjid Kradenan. Letak Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus berada di depan pengimaman Masjid Kradenan.ndisi Guru, Karyawan, dan Siswa (santri)
4. Susunan Kepengurusan


























SUSUNAN KEPENGURUSAN DI MADRASAH DINIYAH NU KRADENAN KUDUS PERIODE 1430 H. /1431 H.


























5. Guru dan Karyawan
Antik memang Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus, madrasah yang hanya mengusung pengetahuan keagamaan ternyata menghasilkan tokoh-tokoh cendekiawan muslim yang luar biasa, seperti Prof. Dr. Maghfur MA yang pernah menjabat sebagai staf Kementerian Agama dan sekarang menjadi dosen di salah satu universitas di Malaysia, beliau merupakan murni out put Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus yang dahulu mengabdi di madrasah ini kemudian factor tugaslah yang memisahkan pengabdian beliau dari madrasah yang telah membesarkan naman beliau.
Rekrutment yang dilakukan pihak lembaga madrasah tidak sembarangan mengangkat staf, baik staf pengajar maupun staf karyawan. Penerimaan staf pengajar dilakukan dengan cara pengamatan terhadap calon ustadz, apakah sudah benar-benar mampu menjadi pendidik yang tulus dan kompeten. Mendidik di madrasah ini bukan merupakan hal yang mudah, tidak hanya dituntut pandai dalam menyampikan materi, namun juga wajib bisa memaparkan kitab kunig peninggalan agung dari ulama’ salafu al-solihin yang penuh barokah dan manfaat. Dan cara rekrutment yang paling sederhana dilakukan adalah, menjadikan putra asatidz Madraah Diniyah NU Kradenan Kudus yang diras sudah siap untuk menjadi badal ayahnya untuk mengajar.
STAF PENGAJAR DAN KARYAWAN MADRASAH DINIYAH NU KRADENAN KUDUS PERIODE 1430 H. /1431 H.
No Nama Guru Pendidikan Terakhir Mengajar Sejak
01 KH.M.Sya’roni Ahmadi MA / PonPes 1964
02 K. Syaiun MTs / PonPes 1965
03 KH. Mukhlis MA / PonPes 1966
04 KH. Muhdi Ahmad MTs / PonPes 1968
05 KH. Suhadi MTs / PonPes 1968
06 KH. Abdul Hafid Sathori MA / PonPes 1970
07 KH. Abu Amar MA / PonPes 1970
08 K. Afdal Muslim MA / PonPes 1970
09 KH. Mahun S.Pd.I Un SATYAGAMA 1975
10 KH. Ahmad Husnan MA / PonPes 1975
11 K. Ahmad Salim MA / PonPes 1975
12 K. Sirojuddin MA / PonPes 1973
13 K. Ahmad Sholeh MA / PonPes 1978
14 K. Ali Rif’an MA / PonPes 1978
15 Ust. H. Nur Asyiquddin MA / PonPes 1982
16 Ust. Nur Huda Romli MA / PonPes 1983
17 Ust. Qomaruddin MA / PonPes 1983
18 Ust. Hudallah Masruri S.Pd.I Un SATYAGAMA 1985
19 Ust.M. Subadi Rohmad PonPes / PT 1982
20 Ust. Sutiono Abdulloh MTs / PonPes 1995
21 Ust. Moh Idris MA / PonPes 1995
22 Ust. Achmad Amin MA / PonPes 1999
23 Ust. Aniq Abdulloh MA / PonPes 2005
24 Ust. Wafiqul Anami MA / PonPes 2005
25 Ust. Maimun S.H.I STAIN Kudus 2005
26 Ust. Moh Mailul Khoir S.Pd.I Un SATYAGAMA 2008

Dari data tentang staf pengajar diatas, peneliti pengambil kesimpulan bahwa mengajar dan mendidik di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus harus mempunyai jiwa santri dan harus mengerti tantang santri, hal ini terbukti dengan andanya data bahwa pengajar dan pendidik di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus, sebagian besar merupakan alumnus dari Pondok-Pesantren, dan bila ada nama yang bukan dari Pondok-Pesantren, maka pengajarnya merupakan alumni dari Madrasah NU Kradenan Kudus yang sedah memiliki ilmu yang di anggap mumpuni untuk manjadi seorang tenaga pengajar dan pendidik di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus.

6. Siswa / Santri
Anak didik dalam suatu kelembagaan pendidikan biasanya disebut dengan nama siswa, namun didalam Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus, anak didik disebut sebagai santri, hal ini mengikuti istilah adat dari Pondok-Pesantren yang menyebut anak didiknya sebagai santri, meskipun dalam realita di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus, pondok-pesantrennya sudah menjadi lembaga yang berdiri sendiri, namun intilah santri berangkat dari kondisi dan situasi yang ada di lingkungan madrasah. Semua pelajaran dan pendidikannya tidaklah berbeda dari pendidikan yang di ajarkan di pondok-pesantren. Oleh sebab itu, panak didik dalam Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus ini disebut sebagai santri.
Adapun jumlah santri pada periode pengajaran 1430 H / 1431 H adalah sebagai berikut:

JUMLAH SANTRI PADA PERIODE PENGAJARAN 1430 H / 1431 H
No Kelas Jumlah
01 Satu Ula 20
02 Dua Ula
03 Satu Wustho 40
04 Dua Wustho
05 Tiga Wustho
06 Satu Aliyah 40
07 Dua Aliyah
08 Tiga Aliyah
09 Jumlah Keseluruhan Santri 100

Dalam Madrasah Dinyah NU Kradenan Kudus semua santri adalah laki-laki, semenjak berdiri hingga sekarang semua santri adalah laki-laki, meskipun pengurus Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus pernah memiliki gagasan untuk membuat Madrasah Diniyah NU Lil Banat, karena ridlo dari nadhir tidak ada, maka niat untuk membuat Madrasah Diniyah NU Lil Banat diurungkan dengan alasan, untuk putrid sudah disediakan lembaga pendidikan Madrasah Diniyah Putri Tasywiquth Thullab Salafiyah (MADIPU TBS) yang termasuk dalam lembaga Yayasan Arawaniyah. Dan pendirinya adalah nadzir dari Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus.

B. KAJIAN TENTANG PROSES PEMBELAJARAN DIMADRASAH DINIYAH NU KRADENAN KUDUS
1. Kurikulim
Ilmu-ilmu yang diajarkan didalam Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus merupakan buah karya hebat dari ulama salafussolihin yang berdasarkan Ahlussunnah Wal Jama’ah baik dari mata pelajaran Fiqih, Tauhid dan lain sebagainya menggunakan dasar konsep Ahlussunnah Wal Jama’ah. Bentuk dari mata pelajaran yang di ajarkan di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus biasa disebut kitab kuning oleh masyarakat. Sampai sekarang belum ada mata pelajaran yang diajarkan di sekolah formal, namun pengurus Madrasah Diniyah NU sudah berencana untuk membuat Madrasah Diniyah NU yang bersifat formal yang didalamnya akan diajarkan mata pelajaran seperti yang diajarkan di sekolah formal yang di ujiankan di Ujuan Nasional.

2. Pendidik
Pengampu mata pelajaran yang ada di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus bukan orang sembarangan,bukan orang yang ditunjuk oleh petugas dari Dinas Pendidikan maupun dari Departemen Agama, melainkan dari hasil seleksi kiai sepuh Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus kepada alumni atau putra ustadz Madrasah Diniyah NU yang dianggap mampu untuk mengulas isi dari kitab kuning dan mampu memberi uswatun hasanah bagi anak didiknya.
Biasanya rekrutmen pendidik di prioritaskan kepada alumnus Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus yang dianggap mampu dan memiliki kecakapan mengajar. Disamping itu, biasanya ustadz yang mulai beranjak usia tua meminta anaknya untuk mengganti mengajar, bukan semata-mata mengajar saja, meskipun anak dari ustadz tetapi bila tidak memiliki ilmu yang mumpuni dan memiliki kecakapan mengajar, tidak akan diterima sebagai staf pengajar di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus. Penguasaan terhadap ilmu Islam dan kecakapan mengajarlah yang diperlukan untuk menjadi seorang pengajar dan pendidik di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus.

3. Peserta Didik
Penerimaan peserta didik atau dalam lapangan lebih akrab disebut santri bukan berdasarkan lulusan sekolah formal, namun berdasarkan kemampuannya dalam memahami ilmu Islam. Tes seleksi penerimaan murid baru berdasarkan tingkat kemampuan calon peserta didik dalam memahami ilmu Islam terutama ilmu Nahwu, Shorf, Fiqh, dan lain-lain.
Hal ini dapat digambarkan, meskipun lulusan dari Sekolah Dasar (SD) namun jika dapat menguasai ilmu Nahwu, Shorf, Fiqh, dan lain-lain, maka pihak madrasah tidak ragu untuk menerimanya langsung ke tingkatan Wustho maupun Aliyah. Sebaliknya walaupun calon peserta didik yang sudah tamat sekolah SMA/sederajat bila tidak faham ilmu-ilmu Islam seperti Nahwu, Shorf, Fiqh, dan lain-lain, maka pihak madrasah tidak tanggung-tanggung menerimanya di tingkatan kelas satu ula.

4. Proses Pembelajaran
Mengenai proses belajar mngajar yang dilaksanakan di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus didalamnya menggunakan metode explanasi dan tanya jawab masalah kitab-kitab yang diajarkan atau biasa disebut dengan istilah sorogan. Istilah sorogan ini biasanya dipakai dalam dunia pondok-pesantren salaf yang ada di daerah jawa. Perbedaan sorogan di pondok-pesantren dan Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus, setelah penjelasan dan pemberian keterangan dari ustadz santri boleh mengajukan permasalahan atau soal-soal seputar pelajaran atau permasalahan dalam Islam yang bersifat kontekstual sekalipun.

5. Evaluasi
Proses pembelajaran dan pendidikan yang ada di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus bukan sekedar pentransferan pngetahuan tentang ilmu Islam, melainkan sampai pada taraf evaluasi. Evaluasi tersebut dilakukan untuk mengukur seberapa berhasil dan seberapa efektiv pendidikan yang dilaksanakan di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus sehingga tujuan untuk menciptakan out put yang bermanfaat bagi mansyarakat dapat dicapai.
Melihat dari awal tentang kurikulum yang ada di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus yang sepenuhnya masih menggunakan pelajaran kitab-kitab salaf atau kitab kuning, kemudian memiliki staf pendidik dan pengajar yangbenar-benar berkompeten dibidangnya, karena hampir seluruh tenaga pendidik di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus alumnus dari pondok-pesantren dan ilmu agama Islamnya tidak perlu diragukan lagi. Disamping itu Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus memiliki santri yang bertujuan husus mendalami ilmu Islam bukan hanya untuk memperoleh ijazah yang sebagai syarat dalam sebuah pekerjaan. Didukung pula dengan proses belajar mengajar yang sudah efektiv. Maka tidak diragukan bila alumnus Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus menjadi tokoh yang dapat menjawab problematika agama Islam yang ada ditengah-tengah masyarakat.
C. KAJIAN TENTANG TUJUAN SISWA MADRASAH DINIYAH NU KRADENAN KUDUS
Peneliti pada hari kamis tanggal 20 mei 2010 M. pada pukul 11.20 wib mengadakan penelitian dengan menyebar angket pada 30 respoden dari berbagai kelas terdiri dari santri wustho dan aliyah di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus dengan tujuan memperoleh data yang dibutuhkan untuk penelitian ini. Adapun penjelasan dari jawaban angket tersebut adalah sebagai berikut:
1. Eksistensi Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus
No Butir Angket Jumlah Presntase Jawaban Responden
A B C D
1 Apa tujuan anda sekolah di Madrasah Diniyah Kradenan NU Kudus? 79,92% 9,99% 3,33% 6,66%
2 Apakah ilmu pengetahuan yang anda peroleh dari Madrasah Diniyyah Kradenan NU Kudus bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari? 69,93% 19,98% 9,99% 0%
3 Apakah masyarakat membutuhkan ilmu yang anda peroleh dari Madrasah Diniyyah Kradenan NU Kudus? 46,62% 29,97% 16,65% 6,66%
4 Apakah anda dapat mengambil semua ilmu pengetahuan di Madrasah diniyah Kradenan NU Kudus? 23,31% 33,3% 36,63% 6,66%
5 Apakah anda mengamalkan ilmu yang anda peroleh dari Madrasah Diniyah Kradenan NU Kudus ? 19,98% 39,96% 29,97% 9,99%
6 Apakah anda mempunyai cita-cita menjadi seorang tokoh agama (kiai)? 53,28% 0% 19,98% 26,64%
7 Apakah ilmu yang anda peroleh di Madrasah Diniyah Kradenan NU Kudus masih relevan dengan zaman sekarang? 33,3% 19,98% 33,3% 13,32%
8 Apakah Madrasah Diniyah Kradenan NU Kudus sudah cukup dengan kurikulum seperti sekarang atau perlu pengembangan kurikulum? 36,63% 16,65% 29,97% 16,65%
9 Apakah masyarakat membutuhkan tokoh agama dari golongan perempuan? 0% 0% 86,58% 13,32%
10 Apakah Madrasah Diniyah Kradenan NU Kudus mempersiapkan tokoh-tokoh agama dari perempuan? 0% 0% 13,32% 86,58%


2. Legalitas Pendidikan
No Butir Angket Jumlah Presentase Jawaban Responden
A B C D
1 Apakah anda puas sekolah di Madrasah Diniyah Kradenan NU Kudus tanpa mendapat ijazah negeri? 79,92% 9,99% 9,99% 0%
2 Apakah legalitas pendidikan menurut anda berupa ijazah (surat tamat belajar)? 19,98% 16,65% 26,64% 36,63%
3 Apakah masyarakat menilai positif terhadap alumni Madrasah Diniyah Kradenan NU Kudus? 59,94% 26,64% 9,99% 0%
4 Apakah permasalahan keagaan masyarakat dapat terjawab dari ilmu yang anda pelajari di Madrasah Diniyah Kradenan NU Kudus? 46,62% 39,96% 13,32% 0%
5 Apakah tujuan anda belajar di Madrasah Diniyah Kradenan NU Kudus untuk memperoleh ijazah? 0% 0% 9,99% 89,91%
6 Apakah dalam kehidupan, alumni Madrasah Diniyah Kradenan NU Kudus memperoleh status sosial di masyarakat? 33,3% 43,29% 13,32% 9,99%
7 Apakah ijazah dan ilmu yang anda peroleh dari madrasah Diniyah Kradenan NU Kudus, keduanya dapat berguna dalam kehidupan anda? 63,27% 26,64% 6,66% 3,33%
8 Apakah anda berkeinginan meneruskan studi setelah memperoleh ijazah dari Madrasah Diniyah Kradenan NU Kudus? 49,95% 23,31% 13,32% 9,99%
9 Apakah anda pernah berkeinginan mendapat pekerjaan dan memerlukan ijazah? 13,32% 16,65% 26,64% 43,29%
10 Apakah ijazah yang anda peroleh dari Madrasah Diniyah Kradenan NU Kudus, memberikan nilai tambah dalam masyarakat? 36,63% 13,32% 36,63% 13,32%

Selain dari data angket tersebut penulis juga melakukan interview terhadap alumni Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus untuk memperoleh bebrapa keterangan yang lebih spesifik.
Santri Madrasah Diniyah NU datang ke madrasah bukan sekedar mendapatkan ijazah (syahadah), namun dengan maksud mengaji dan menuntul ilmu, urusan fungsi dari ijazah (syahadah) kelak untuk apa tidak menjadi pikiran dan beban, dan sekedar focus dengan apa yang dihadapan sekarang, yaitu ilmu pengetahuan Islam yang ada di Madrasah Diniyah NU.
Pendapat lain dari alumnus Madrasah Diniyah NU mengutarakan tentang syahadah hanya sekedar merupakan symbol tanbih dari madrasah untuk jangan sampai merupakan ilmu Islam yang telah di ajarkan di Madrasah Diniyah NU. Untuk masalah fungsi ilmu Islam ternyata tergantung lingkungan dan masyarakatnya. Ketika alumnus dihadapkan dengan masyarakat yang haus dengan ilmu Islam, maka alumnus Madrasah Diniyah NU siap memberikan solusi tentang probelatika ilmu Islam terutama tentang masalah konflik mengenai akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan akidah lain.

D. ANALISA TENTANG EKSISTENSI MADRASAH DINIYAH NU KRADENAN KUDUS
Keberadaan madrasah diniyah di Indonesia merupakan bentuk konkret dari adanya pengajaran pendidikan Islam yang ada di Indonesia, lembaga pendidikan ini tidak lain hanya untuk memberikan ilmu pengetahuan Islam. meskipun telah ada pondok-pesantren yang plur menangani pendidikan Islam, namun kehadiran madrasah diniyah juga dibutuhkan dalam masyarakat karena modelnya yang sudah agak modern dan berbeda dengan sistem klasik yang ada di pondok-pesantren, begitu juga dengan Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus yang selama ini telah mewarnai dan turut bereran penting dalam penyebaran pendidikan Islam hususnya di kabupaten Kudus. Sebagaimana pendapat yang di tulis dalam buku karangan Haidar Putra Daulay yang menyatakan: “It is the madrasa, rather than in the pondok pesantren, that the more modern ideas on education and schooling have generally had the most influence. The madrasa is more like a western – style school than the pondok - pesantren with its dormitory arrangement and traditional, unregulated way of study.”
Pendapat diatas juga sesuai dengan hasil pendataan Departemen Agama dalam buku yang berjudul “Pondok-Pesantren dan Madrasah Diniyah dalam Pertambahan dan Perkembangannya”, adanya Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus jika ditinjau dari segi historis, ternyata berdiri dengan pendekatan budaya dan lingkungan kabupaten Kudus yang mayoritas penduduknya kaum santri yang berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Buku terbitan Departemen Agama menulis pernyataan bahwa Kekuatan lain yang dimilki madrasah diniyah adalah kebebasannya memilih pola, pendekatan, bahkan system pembelajaran yang dipergunakan, tanpa terikat oleh model-model tertentu. Biasanya pola yang dipilih adalah pendekatan yang dianggap paling tepat untuk mencapai tujuan atau keinginan masyarakat dalam menambah ilmu pengetahuan agama dan bahasa Arab. Pendekatan demikian sangat menguntungkan karena sesuai dan lebih dekat dengan budaya dan lingkungan setempat.
Modernisasi pendidikan yang ada di dalam Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus dapat dilihat dari klasikalnya yang sudah seperti sekolah formal, selain itu juga memiliki jenjang tingkatan. Meskipun demikian, potensi yang dimiliki oleh madrasah diniyah tidak jauh berbeda dengan potensi yang ada di pondok-pesantren. Pendapat ini telah di tulis dalam buku terbitan Departemen Agama pula yang berbunyi “Adapun pendidikan dan pengajaran pada madrasah diniyah bertujuan untuk memeberi tambahan pengetahuan agama kepada pelajar-pelajar yang merasa kurang menerima pelajaran agama di sekolah-sekolah umum dan madrasah diniyah ada 3 (tiga) tingkatan yakni: Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustho, dan Diniyah ‘Ulya” dan juga “Pada dasarnya potensi yang ada pada madrasah diniyah tidak jauh berbeda dengan potensi pondok pesantren, karena kedua bentuk satuan pendidikan ini sama-sama lembaga pendidikan yang lahir, tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat dan dilator belakangi oleh masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan murni diselenggarakan oleh swasta, kekuatan madrasah diniyah adalah kekenyalannya menghadapi permasalahan yang timbul. Meskipun dengan kondisi yang serba kekurangan, madrasah diniyah ini terus berkembang”
Disamping itu juga adanya hubungan erat antara kebutuhan masyarakat tentang kebutuhan dalam pengetahuan agama juga memiliki hubungan emosional terhadap masyarakat, secara sederhana madrasah diniyah berdiri merupakan dari masyarakat dan untuk masyarakat. Pendapat ini seperti yang di kemukakan oleh Ainurrafiq Dawam&Ahmad Ta’arifin, beliau menulis “Keterkaitan masyarakat terhadap madrasah ini lebih ditampakkan sebagai “ikatan emosional” dibanding katan rasional. Ikatan ini muncul dikarenakanbertemunya dua kepentingan. Pertama, hasrat kuat masyarakat Islam untuk berperan serta dalam pendidikan (meningkatkan pendidikan anak-anak disekitar tempat tinggalnya). Kedua, motivasi keagamaan (keinginan agar anak-anak mereka selain mendapat pendidikan umum juga mendapat pendidikan agama yang cukup). ”
Data yang didapat tentang masalah Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus yang bervisi: “تفقه فى الدين (Tafaqquh Fi Al-din)” atau pemahaman dan pendalaman agama Islam sebagai dasar visi Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus. Adapun misi Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus adalah sebagai berikut:
a. Menciptakan anak didik yang berilmu Islam berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
b. Menciptakan anak didik yang cakap dalam keilmuan Islam dan bermanfa’at bagi masyarakat.
Melihat data yang diperoleh dalam lapangan, ternyata Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus sebagai lembaga pendidikan yang mendalami ilmu-ilmu agama Islam yang berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menciptakan out put yang benar-benar cakap dan trampil dalam mendalami ilmu agama Islam yang nantinya dapat menjadi tokoh masyarakat yang mengamalkan ilmu agama Islam yang diperoleh dari Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus. Visi dan Misi Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus juga mendapat apresiasi dari masyarakat Kudus dan sekitarnya yang mayoritas masyarakatnya adalah kaum santri yang menginginkan anak-anaknya bukan sekedar faham tentang ilmu-ilmu pengetahuan umum saja namun juga kebutuhan terhadap ilmu agama Islam yang dapat terpenuhi dengan adanya Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus.

E. ANALISA TENTANG FAKTOR YANG MENYEBABKAN MADRASAH DINIYAH NU KRADENAN KUDUS DENGAN KHASNYA MEMPERTAHANKAN SALAFNYA.
Pemahaman tersebut juga berlandaskan dari pendapat Fazlur Rahmanan yang mengatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar perlengkapan dan peralatan fisik atau kuasi fisik pengajaran seperti buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, melainkan sebagai intelektualisme Islam karena baginya hal inilahyang dimaksud dengan esensi pendidikan tinggi Islam. Hal ini merupakan pertumbuhan suatu pemikiran islam yang asli dan memadai, dan yang haarus memberikan criteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah sistem pendidikan Islam.
Pendidikan Islam dapat mencakup dua pengertian besar. Pertama, pendidikan Islam pengertian praktis, yaitu pendidikan yang dilaksanakan di dunia Islam seperti yang diselenggarakan di Pakistan, Mesir, Sudan, Saudi, Iran, Turki, Maroko dan sebagainya, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Untuk konteks Indonesia, meliputi pendidikan di pesantren,di madrasah (mulai dari Ibtidaiyah sampai Aliyah) dan di perguruan tinggi Islam, bahkan bias juga pendidikan agama Islam di sekolah (sejak dari dasar sampai atas) dan pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum. Kedua, pendidikan tinggi Islam yang disebut dengan intelektualisme Islam. Lebih dari itu, pendidikan Islam menurut Rahman dapat juga dipahami sebagai proses untuk menghasilkan manusia (ilmuan) integrative, yang padanya terkumpul sifat-sifat seperti kritis, kreatif, dinamis, inovatif, progresif, adil, jujur dan sebagainya. Ilmuwan yang demikian itu diharapkan dapat memberikan alternative solusi atas problem-problem yang dihadapi oleh umat manusia di muka bumi.
Pembelajaran yang ada di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus mengarah pada pendidikan yang membentuk insan yang berkarakteristik salaf. Kata “salaf” berasal dari bahasa Arab yang keluar dari isim masdar “ســـلــفا“ yang berarti terdahulu, telah lalu . Dan terbukti dengan adanya keseluruhan mata pelajaran yang diajarkan di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus 100% menggunakan kitab kuning yang bertujuan untuk membentuk cendekiawan muslim yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist.
Ilmu-ilmu yang diajarkan didalam Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus merupakan buah karya hebat dari ulama salafussolihin yang berdasarkan Ahlussunnah Wal Jama’ah baik dari mata pelajaran Fiqih, Tauhid dan lain sebagainya menggunakan dasar konsep Ahlussunnah Wal Jama’ah. Bentuk dari mata pelajaran yang di ajarkan di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus biasa disebut kitab kuning oleh masyarakat. Sampai sekarang belum ada mata pelajaran yang diajarkan di sekolah formal, namun pengurus Madrasah Diniyah NU sudah berencana untuk membuat Madrasah Diniyah NU yang bersifat formal yang didalamnya akan diajarkan mata pelajaran seperti yang diajarkan di sekolah formal yang di ujiankan di Ujuan Nasional.
Usaha yang dilakukan Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus untuk membentuk out put telah dilakukan mulai dari adanya konsep kurikulum mata pelajaran telah dipersiapkan. Nuansa lembaga pendidikan dan keilmuan yang disajikan kepada anak didik Madrasah Diniyah NU yang berbeda dengan madrasah-madrasah lain yang ada di kota Kudus dan para peserta didik diasuh oleh ulama-ulama dari kabupaten Kudus dan sekitarnya demi tujuan tercapainya visi-misi Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus. Namu dala menentukan hasil dari tujuan pendidikan sama dengan lembaga-lembaga pendidikan, sebaik apapun konsep lembaga pendidikan tidak menjadi faktor utama dalam wujudnya tujuan pendidikan, selain itu tergantung dari kemampuan peserta didik seberapa banyak peserta didik mampu menyerap ilmu pengetahuan Islam yang ada di Madrasah Diniyah, yang tentunya tidak lepas dari pengawasan dan motivasi orang tua peserta didik.
Proses pembelajaran dan pendidikan yang ada di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus bukan sekedar pentransferan pngetahuan tentang ilmu Islam, melainkan sampai pada taraf evaluasi. Evaluasi tersebut dilakukan untuk mengukur seberapa berhasil dan seberapa efektiv pendidikan yang dilaksanakan di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus sehingga tujuan untuk menciptakan out put yang bermanfaat bagi mansyarakat dapat dicapai.
Melihat dari awal tentang kurikulum yang ada di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus yang sepenuhnya masih menggunakan pelajaran kitab-kitab salaf atau kitab kuning, kemudian memiliki staf pendidik dan pengajar yangbenar-benar berkompeten dibidangnya, karena hampir seluruh tenaga pendidik di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus alumnus dari pondok-pesantren dan ilmu agama Islamnya tidak perlu diragukan lagi. Disamping itu Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus memiliki santri yang bertujuan husus mendalami ilmu Islam bukan hanya untuk memperoleh ijazah yang sebagai syarat dalam sebuah pekerjaan. Didukung pula dengan proses belajar mengajar yang sudah efektiv. Maka tidak diragukan bila alumnus Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus menjadi tokoh yang dapat menjawab problematika agama Islam yang ada ditengah-tengah masyarakat.
Ketepatan Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus dalam memilih konsep kurikulum, kompetensi tenaga pengajar dan pendidik yang benar-benar berkompeten dibidangnya menimbulkan efek besar pada peserta didiknya, kharismatik yang dimiliki tenaga pendidik di Madrasah Diniyah NU menimbulkan kesadaran belajar pada anak didiknya. Tanpa adanya perintah untuk belajar pada anak didikpun para peserta didik dengan kesadarannya masing-masing berusaha dengan sendirinya untuk menggali pemahaman dari manisnya ilmu agama Islam, dan tidak terlepas pula dari semangat internal dari diri peserta didik itu sendiri.

F. ANALISA TENTANG FUNGSI IJAZAH MADRASAH DINIYAH NU KRADENAN KUDUS BAGI PARA SANTRI-SANTRINYA
Secara umum, dapat dikatakan di dunia Muslim terdapat dua sistem pendidikan yang mengikuti dua metode pengajaran—yang modern dan tradisional. Menurut tradisional, para pelajar telah diharapkan Qur,an dan Sunnah sebagai kebenaran mutlak yang telah melanjutkan penjelajahan tehadap sumber-sumber pengetahuan lain.
Dengan demikian, kerangka metafisika yang disediakan oleh Islam membantu pelajar untuk menggunakan logika sambil menjelaskan atau menafsirkan sesuatu idea tau merumuskan konsep-konsep baru. Tidak seorangpun mempertanyakan kerangka metafisika keagamaan. Metode lain, yang dipelajari dari para ahli sains metode penyelidikan ilmiah modern, merupakan pertanyaan kritis dan penuh keraguan.
Metode itu dimulai tanpa sesuatu premis yang telah disetujui. Bahkan Qur,an dan Sunnah perlu dapat pembenaran sebagai sumber pengetahuan yang valid. Sebagian dari cerita tentang sejumlah Nabi, termasuk seluruh kisah manusia pertama dan Yusuf (Joseph) dan Musa (Moses), tidak dapat diterima sebagai fakta sejarah dari sudut pandang ini. Kisah-kisah tersebut diperlakukan sebagai kisah yang mengajarkan kepada kita pelajaran berharga.
Bahasan lain yaitu tentang legalitas pendidikan (ijazah). Ijazah adalah pertama berarti sertipikat tanda lulus, kedua bermakna surat tanda tama belajar, dan ketiga ijin yang diberikan ulama'/ kiai.
Dalam pembagian angket kepada 30 responden yang terdiri dari santri-santri Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus tentang kepuasan santri-santri tentang pendidikan yang ada di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus 79,92% peserta didik menyatakan sangat puas. Dan apakah belajar di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus bertujuan memperoleh legalitas pendidikan, 89,91% santri mengatakan tidak demi ijazah,namun demi ilmu pengetahuan Islam yang ada di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kuduslah yang dibutuhkan.
Selain itu pendapat dari alumni Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus mengutarakan tentang syahadah hanya sekedar merupakan symbol tanbih dari madrasah untuk jangan sampai melupakan ilmu Islam yang telah di ajarkan di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus.
Secara sederhana penulis mengambil kesimpulan bahwa ijazah dari Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus bukan sebagai hal kebutuhan dalam menjadi bukti telah usainya jenjang pendidikan yang telah di jalani di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus, namun sekedar sebagai tanbih seberapa besar ilmu yang telah diperoleh di Madrasah Diniyah NU, apakah nilai yang ada di ijazah tersebut sesuai dengan realita santrinya ataukah belum. Dan juga sebagai tanbih supaya out put Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus tidak melupakan ilmu-ilmu yang telah dipelajari di Madrasah Diniyah NU.
Santri Madrasah Diniyah NU yang telah usai dijenjang pendidikan tingkat aliyah juga langsung dapat melanjutkan pendidikan di universitas. Dengan cara menambahkan surat rekomendasi yang dari Madrasah Diniyah NU dengan di keluarkannya surat keterangan dari Departemen Agama. Hal ini terbukti dengan telah terbuktinya santri alumnus Madrasah Diniyah NU yang melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Namun sebagian besar output Madrasah Diniyah NU melanjutka studynya ke pondok-pesanten, hanya sebagian kecil out put Madrasah Diniyah NU yang meneruskan belajar ke jenjang perguruan tinggi. Dan pilihan lain adalah dirumah dan menghadapi masyarakat dengan semua problematika seputar agama Islam-nya.

G. ANALISA TENTANG PERAN OUTPUT MADRASAH DINIYAH NU KRADENAN KUDUS DALAM MASYARAKAT
Pendidikan agama Islam merupakan proses yang komperehensif dari pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan., yang meliputi intelektual, spiritual, emosi dan fisik. Sehingga seorang muslim disiapkan dengan baik untuk melaksanakan tujuan kehadirannya di sisi Tuhan sebagai hamba dan wakil-Nya di muka bumi.
Ruang lingkup pengembangan materi pendidikan agama Islam meliputi: akidah, syari’ah, dan akhlaq. Tuntutan ideal ini menekankan bahwa pendidikan dan pengajaran yang diberikan di sekolah-sekolah, selain mengajarkan kepandaian akal (rasio) juga dituntut menanamkan benih kemerdekaan, demokrasi, kebenaran yang luhur, keikhlasan hati, secara kecintaan serta kesetiaan dan kecintaan kepada kebenaran. Sebagaimana yang diterapkan pada sistem pendidikan zaman keemasan Islam. pendekatan yang dilakukan adalah dengan berpikir secara filosofis. Dengan berpikir secara filosofis dan merdeka, umat Islam akan dapat berpikr objektif dan kritis dalam memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, serta apresiatif membangun sebuah kebudayaan umat yang dinamis. Dengan dinamika tersebut, manusia akan mampu mengenal Tuhannya, menambah imannya kepada kebenaran ajaran agama yang diyakininya, dan menciptakan kebudayaan yang bermanfaat bagi seluruh alam semesta. Pendekatan yang demikian sesungguhnya merupakan wawancara universalitas Islam sebagai sebuah agama yang dinamis.
Pandangan serupa dikemukakan Yusuf Qardhawi dengan mengatakan bahwa:
Iman bukan hanya sekedar pengetahuan pikiran seperti pengetahuan kaum teolog danfilosuf, bukan pula semata-mata penginderaan ruhani seperti penginderaan kaum sufi (tasawuf), bukanhanya praktik-praktik peribadatan ritual sebagaimana yang dilakukan ahli-ahli ibadat, akan tetapi iman merupakan kesatuan yang utuh dari ketiga hal tersebut. Pola berpikir yang demikian akan dapat menumbuhkan sikap positif untuk memakmurkan dunia ini secara banar, mengisi hidup dengan akhlak al-karimah, dan menuntunnya kejalan yang benar.
Madrasah diniyah murni, yaitu madrasah diniyah yang siswanya hanya menempuh pendidikan di madrasah diniyah tersebut tidak merangkap di sekolah umum maupun madrasah diniyah independen, karena bebas dari siswa yang merangkap di sekolah umum ataupun madrasah.
Angket yang disebarkan kepada santri Madrasah Diniyah NU membeikan keterangan bahwa 69,93% santri berargumen bahwa ilmu Islam yang ada di Madrasah Diniyah NU bermanfaat bagi kehidupannya dan masyarakatnya. Selain itu 46,62% santri menyatakan bahwa masyarakat membutuhkan ilmu yang telah di peroleh santri dari Madrasah Diniyah NU.
Alumnus juga berpendapat bahwa masalah fungsi ilmu Islam ternyata tergantung lingkungan dan masyarakatnya. Ketika alumnus dihadapkan dengan masyarakat yang haus dengan ilmu Islam, maka alumnus Madrasah Diniyah NU siap memberikan solusi tentang probelatika ilmu Islam terutama tentang masalah konflik mengenai akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan akidah lain.
Setelah peserta didik mengalami proses pembelajaran yang ada di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus dengan seluruh konsep kurikulum dan metode pengajaran yang diterapkan serta adanya evaluasi bagi peserta didik, tahap akhir adalah pengaplikasian seluruh ilmu yang diperoleh dari Madrasah Diniyah NU dalam masyarakat. Penempa’an diri dengan ilmu agama Islam oleh tenaga pendidik yang benar-benar berkompeten serta niat dan motivasi peserta didik yang ada dalam personal santri, Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus mampu menghasilkan out-put yang berkriteria sebagai berikut:
1. Out put yang mengimplementasikan ilmu agama Islam dalam kehidupannya dan pada masyarakat sekitarnya.
2. Individu yang memiliki motivasi religious untuk personalnya dan untuk orang lain.
3. Pribadi ulet dan berprinsip.
4. Insan yang aktiv dalam urusan ibadah hingga memberikan semangat bagi lainnya.
Pembentukan out put yang demikian rupa tidak lepas dari kerja keras para alim ulama’ yang membuat regenerasi ilmuan muslim yang nantinya dapat meneruskan perjuangan para alim ulama’ hingga menciptakan masyarakat yang tidak hanya perduli dengan ilmu umum dalam urusan duniawi saja, namun juga menyangkut urusan agama Islam untuk kebutuhan rohaninya.






















BAB VI
PENUTUP

A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan peneliti tentang Eksistensi Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus di Era Legalitas Pendidikan (Studi Analisis Tentang Out Put Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus) sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Penyebab Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus masih bertahan atau eksis di era maraknya legalitas pendidikan seperti sekarang ini adalah adanya hasrat kuat masyarakat Islam untuk berperan serta dalam pendidikan (meningkatkan pendidikan anak-anak disekitar tempat tinggalnya). Dan motivasi keagamaan (keinginan agar anak-anak mereka selain mendapat pendidikan umum juga mendapat pendidikan agama yang cukup). Hal tersebut merupakan latar belakan eksisnya Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus di era legalitas pendidikan.
2. Faktor yang menyebabkan Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus dengan khasnya mempertahankan Salafnya yaitu Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang dengan konsisten mempertahankan nuansa salafnya dan tidak terpengaruh oleh zaman kebutuhan manusia akan sebuah legalitas pendidikan. Bentuk Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus yang masih salaf ini dilatar belakangi oleh para ulama’ Kudus dan sekitarnya untuk menciptakan out put dan cendekiawan muslim yang benar-benar memahami ilmu Islam yang bernuansa Ahlussunnah Wal Jama’ah dan untuk menjadi problem solving bagi permasalah masyarakat seputar agama Islam.
3. Fungsi ijazah Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus bagi para santri-santrinya ialah ijazah dari Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus bukan sebagai hal kebutuhan dalam menjadi bukti telah usainya jenjang pendidikan yang telah di jalani di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus, namun sekedar sebagai tanbih seberapa besar ilmu yang telah diperoleh di Madrasah Diniyah NU, apakah nilai yang ada di ijazah tersebut sesuai dengan realita santrinya ataukah belum. Dan juga sebagai tanbih supaya out put Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus tidak melupakan ilmu-ilmu yang telah dipelajari di Madrasah Diniyah NU.
4. Peran mutakhorrijin Madrasah Diniyah NU Kradenen Kudus terhadap masyarakat yaitu alumnus Madrasah Diniyah NU merupakan sosok yang telah dipersiapkan pihak lembaga Madrasah Diniyah NU untuk menjadi seorang yang mampu menjadi penyalur ilmu pengetahuan pada masyarakatnya baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Namun masalah realita yang ada di masyarakat sangat elastis, tegantung dari diri alumnus tersebut. Apakah sudah siap menjadi seorang problem solving bagi masyarakat ataukah belum. Maupun seberapa butuh masyarakat terhadap ilmu pengetahuan Islam terutama masalah faham akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.

B. SARAN-SARAN
Adapun saran-saran yang disumbangkan penulis terhadap Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus antara lain sebagai berikut:
1. Sebagai lembaga pendidikan yang antik dan hanya ada satu di kabupaten Kudus, hendaknya dari lembaga Madrasah Diniyah perlu adanya pengeksposan lembaga baik di daeran maupun secara nasional. Pengeksposan tersebut bukan sekedar dari alumni yang telah mengamalkan ilmunya di masyarakat, namun melalui media, temasuk media internet agar Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus tercatat dan di pandang dunia sebagai lembaga pendidikan Islam yang berhasil dalam visi dan misi pendidikannya.
2. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mungkin antara peneliti satu dengan peneliti yang lain ada perbedaan dalam penarikan kesimpulan dan hal ini sangat alamiah sekali karena lain lading lain belalang dan lain kepala lain pula pemikiran. Apabila dalam masa mendatang ada peneliti lain dengan maksud dan tujuan yang sama hendaklah dari lembaga Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus menyarankan untuk meneliti dengan penelitian kualitatif agar data yang akurat secara statitistik dapat dilihat.

C. PENUTUP
Kelancaran dalam penelitian ini bukan hanya sekedar kerja keras dari penulis saja, namun berkat rahmat dan kemudahan karunia Allah SWT dan doa dari para guru serta dorongan semangat dari orang tua yang telah melahirkan dan sripsi yang berjulul “Eksistesi Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus Di Era Legalitas Pendidikan Studi Analisis Tentang Out Put Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus” yang semoga dapat memberikan inspiras bagi pembaca dan dapat bermanfaat terutama dalam dunia pendidikan Islam.
Bahasa yang mudah difahami yang digunakan penulis merupakan usaha untuk menciptakan image simple yang ada pada penulis dengan nuansa penuangan bahasa yang mudah difahami dan mungkin bahasa yang simple tersebut terasa kurang ilmiah dalam dunia pendidikan formal sepert universitas, namun bagi penulis hal tersebut bukan termasuk masalah dan mungkin terdapat banyak kesalahan dan kurang ketepatan dalam pemikiran penelitian, karena penulis menyadari segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada yang diciptakan sempurna oleh Allah SWT. Oleh karena itu, permintaan maaf yang sebesarnya sangat diharapkan penulis dan sudilah untuk meluruskan jika terjadi kesalahan penulisan maupun analog pemikiran.

2 komentar:

  1. Dulu waktu Ibtidaiyah ada Kitab Hadits Kecil yang isinya :
    HADITS-HADITS YANG BABNYA DIURUT BERDASARKAN HURUF HIJAIYYAH...
    Apa ya mas nama Kitabnya lupa saya... Penting...!!!

    BalasHapus
  2. Dulu waktu Ibtidaiyah ada Kitab Hadits Kecil yang isinya :
    HADITS-HADITS YANG BABNYA DIURUT BERDASARKAN HURUF HIJAIYYAH...
    Apa ya mas nama Kitabnya lupa saya... Penting...!!!

    BalasHapus